Lebah selain diambil madunya, juga bermanfaat untuk penyerbukan tanaman, bahkan sengatan-nya bisa dipakai untuk terapi refleksi. Hal ini semakin menunjukkan Keagungan Allah dengan karunia-Nya yang banyak pada hewan kecil bernama lebah itu. Alhamdulillah.
Menurut Prof. Ali Mustafa Ya’qub, yang juga duduk sebagai anggota Komisi Fatwa MUI itu, memakan tubuh lebah (bukan madunya, rumahnya, atau polen-nya) hukumnya haram. Harus dicatat juga, dalam acara di atas, Prof. Mustafa Ya’qub berpendapat sendirian, tidak disertai pembanding lainnya.
Alasan beliau mengharamkan, kurang-lebih:
(1) Lebah memberi manfaat kepada manusia, yaitu menghasilkan madu. Kata beliau, sesuatu yang memberi manfaat, tidak boleh dibunuh atau haram.
(2) Membunuh hewan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia sama dengan menzhalimi hewan itu sendiri.
(3) Kalau lebah dibunuh, nanti populasinya lama-lama akan habis, sehingga pada gilirannya tidak bisa menghasilkan madu lagi.
Corak Fiqih Ahli Hadits
Sebelum kita mendiskusikan masalah ini, ada baiknya kita ulas sedikit tentang posisi Prof. Mustafa Ya’qub. Sebagaimana telah dimaklumi, beliau adalah seorang pakar hadits di Indonesia. Satu di antara sedikit pakar hadits yang dimiliki Ummat Islam di Indonesia. Beliau lama belajar hadits, sampai telat menikah. Beliau pernah memberi pengakuan, kurang-lebih maknanya, “Kalau seseorang sudah menekuni hadits, dia akan diberikan kenikmatan ruhiyah luar biasa, sehingga bisa melupakan terhadap kesibukan-kesibukan lain.” Bisa jadi, kenyataan seperti itu pula yang dirasakan oleh ahli-ahli hadits seperti Syaikh Al Albani rahimahullah dan lainnya. Imam Nawawi rahimahullah pun, sampai wafatnya beliau belum sempat menikah, karena hatinya telah “tertawan” untuk menekuni hadits Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam.
Di kalangan Salafiyin di Indonesia, Prof. Ali Mustafa Ya’qub dikenal karena sikap kritis beliau kepada metode tashih hadits yang ditempuh oleh Syaikh Al Albani rahimahullah. Hingga ada sebuah buku tentang “Al Albani Dihujat”, yang merupakan bantahan terhadap buku beliau yang mengkritisi metode tashih Syaikh Al Albani. Kalau tidak salah, Prof. Mustafa Ya’qub ketika belajar hadits di Saudi, beliau banyak menimba ilmu dari Syaikh Yasin Al Palembani, seorang ulama hadits asal Indonesia, yang telah menetap lama di Haramain Syarifain. Kebetulan, Syaikh Yasin juga bersikap kritis terhadap metode tashih Syaikh Al Albani. Seperti sebuah ungkapan, “Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.” Atau ungkapan lain, “Satu guru satu ilmu.” Meskipun tentu, secara akademik, Prof. Mustafa Ya’qub lebih berkesempatan mendapatkan wawasan yang lebih luas.
Ada satu hal yang menarik jika berbicara tentang hasil-hasil ijtihad fiqih para ahli hadits, termasuk Prof. Mustafa Ya’qub di dalamnya. Selama ini, banyak keluhan dari para ulama terkait dengan pandangan-pandangan para ahli hadits. Maksudnya, di mata ulama-ulama lain, para ahli hadits sering dianggap “saklek”, yaitu kurang memahami metode ushul fiqih ketika menyimpulkan hukum suatu perkara. Padahal, kata mereka, kalau mengemukakan hukum fiqih, harus ditunjang ushul fiqih.
Kritik paling keras terhadap ijtihad fiqih para ahli hadits dilontarkan oleh Syaikh Muhammad Al Ghazali rahimahullah, tokoh Ikhwanul Muslimin di Mesir. Dalam sebuah bukunya yang dianggap kontroversial, beliau menyerang keras “metode fiqih” para ahli hadits. Buku tersebut kemudian memicu kontroversi yang luas. Muncul bantahan-bantahan kepadanya, dari yang paling lunak sampai paling keras.
Begitu pula dengan berbagai ijtihad fiqih Syaikh Al Albani. Tidak sedikit yang merasa gerah dengan pendapat-pendapat fiqih beliau. Misalnya tentang tata-cara shalat dan hukum emas yang melingkar di tangan.
Termasuk di Indonesia sendiri. Sejak lama pandangan fiqih ulama-ulama dari Persatuan Islam (Persis) dianggap saklek. Seolah, pandangan mereka bisa diungkapkan dengan kalimat, “Dimana mereka bertemu hadits, disanalah mereka berdiri menetapkan hukum.” Ibarat makanan, seperti makanan yang dimasak begitu saja, tanpa disertai bumbu-bumbu.
Intinya, ketika menetapkan suatu hukum fiqih, kita perlu merujuk dua perkara: (1) Meneliti keshahihan hadits yang dijadikan hujjah; (2) Metode ushul fiqih yang telah ditetapkan para ulama Salaf sebagai koridor. Jika hanya bermodal ushul fiqih tanpa keshahihan hadits, kita akan meninggalkan Sunnah Nabawiyah. Namun jika berpedoman kepada hadits saja, tanpa memperhatikan ushul fiqih, kita juga akan menyia-nyiakan metode fiqih yang telah dibangun para ulama Salaf.
Sebagai perbandingan, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Selain beliau dikenal sebagai ahli hadits dengan kitabnya yang terkenal, Musnad Imam Ahmad, beliau juga merintis madzhab fiqih Hanabilah (madzhab Imam Ahmad bin Hanbal). Tidak ada satu pun yang akan mengingkari posisi Imam Ahmad, sebagai ahli hadits dan sekaligus ahli fiqih. Beliau banyak mengambil manfaat dari ilmu gurunya, imamnya ushul fiqih di Dunia Islam, Imam Syafi’i rahimahullah.
Haramkah Memakan Lebah?
Kembali ke persoalan hukum memakan lebah. Prof. Ali Mustafa Ya’qub menyimpulkan, bahwa lebah haram dikonsumsi, sebab ia bermanfaat menghasilkan madu, mengkonsumsi hewan yang bermanfaat berarti menzhalimi dirinya, dan dikhawatirkan nanti populasi lebah akan habis kalau sering-sering dimakan.
Pengharaman lebah di atas bukan karena dalil-dalil Al Qur’an atau Sunnah yang mengharamkan, tetapi karena alasan kemaslahatan. Metode demikian dikenal dalam fiqih Islam, meskipun akurasinya kerap kali debatable, tergantung sejauhmana pendalaman kita terhadap makna maslahat dan madharat itu sendiri.
Tetapi jika alasan-alasan yang dikemukakan oleh Prof. Mustafa Ya’qub di atas diterapkan dalam kehidupan, kita akan menemui banyak kerancuan. Penjelasannya sebagai berikut:
[SATU], lebah haram dimakan karena ia bermanfaat bagi manusia, yaitu dari hal menghasilkan madu.
Jika alasannya seperti di atas, lalu bagaimana dengan ayam yang menghasilkan telur? Bagaimana dengan sapi yang menghasilkan susu? Bagaimana dengan domba yang menghasilkan bulu-bulu wol? Bagaimana dengan burung walet yang menghasilkan sarang walet? Bahkan bagaimana dengan kambing-kambing yang kotorannya bermanfaat untuk pupuk? Bukankah semua hewan-hewan itu bermanfaat dan menghasilkan manfaat untuk manusia?
Sampai disini, satu alasan Prof. Mustafa Ya’qub terpatahkan. Ayam Broiler yang menghasilkan telur, ia tidak haram dimakan, meskipun semula ia telah banyak menghasilkan telur yang berguna bagi manusia.
[DUA], lebah haram dimakan karena ia telah berjasa bagi manusia. Memakan hewan yang telah berjasa sama saja dengan menzhalimi dirinya.
Pemikiran seperti ini sangat keliru, sebab istilah kezhaliman itu berlaku bagi kehidupan manusia. Jika ada istilah zhalim bagi hewan, maka usaha-usaha peternakan harus ditinggalkan. Misalnya, ada yang memaksa binatang ternak tidak bergerak dalam kandang dan terus-menerus diberi makan, sebab akan diambil dagingnya. Ada yang dipaksa terus bertelur, tidak diberi ruang bergerak bebas, ada yang dipercepat pertumbuhannya, ada dipaksa kawin secara, ada yang terus diambil susunya, dan sebagainya. Berarti semua itu zhalim, sebab melanggar “HAH” (hak asasi hewan). Bahkan, menyembelih hewan untuk dimakan adalah puncak kezhaliman. Sebab hewan-hewan itu merasa kesakitan ketika dibunuh.
Alasan di atas sudah salah-kaprah. Hewan, tumbuhan, alam sekitar telah ditundukkan oleh Allah untuk melayani kehidupan manusia. Jadi, tidak relevan kita berbicara tentang kezhaliman. Sama seperti pemikiran Brigit Bardot, seorang selebritis Italia. Sejak lama dia menentang penyembelihan hewan korban, karena dianggap melanggar “HAH” (hak asasi hewan).
[TIGA], jika lebah terus dikonsumsi, maka akan membuat binatang itu punah, sehingga tidak bisa menghasilkan madu lagi.
Ini juga alasan yang –maaf- naif. Lebah adalah hewan yang diternakkan, meskipun banyak juga yang berkoloni secara liar di hutan-hutan atau pohon-pohon. Lebah tidak pernah menjadi hewan yang dilindungi karena alasan khawatir punah. Lebah itu jenis serangga. Rata-rata serangga memiliki tingkat kemampuan regenerasi luar biasa. Mereka bisa berbiak dengan sangat cepat, dalam jumlah besar. Hampir-hampir tidak ada kekhawatiran populasi lebah akan habis.
Jika karena satu dan lain hal kemudian populasi lebah habis, misalnya terjadi demikian, hal itu juga tidak mengapa. Artinya, manusia akan kehilangan salah satu sumber konsumsi terbaik, yaitu madu. Hal itu jelas merupakan kehilangan besar, tetapi ia tidak akan membuat manusia menjadi punah. Eksistensi manusia tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya madu lebah.
Singkat kata, alasan yang digunakan oleh Prof. Mustafa Ya’qub untuk mengharamkan memakan lebah madu semuanya lemah. Ia tidak berdasar satu pijakan yang kuat. Jika alasan seperti itu dituruti, akan muncul kerancuan-kerancuan.
Lalu bagaimana hukum memakan lebah? Apakah memakan lebah menjadi halal?
Tidak Ada Nash Qath’iy
Dalam Al Qur’an maupun Sunnah tidak ada dalil qath’iy yang mengharamkan manusia mengkonsumsi lebah madu. Tidak ada ayat Al Qur’an atau hadits-hadits shahih yang menjelaskan keharamannya. Seandainya ada, maka topik ini tentu akan dibahas ramai dalam berbagai kesempatan. Nyatanya, perkara memakan lebah madu hanya menjadi persoalan minor yang diperdebatkan.
Dalam ushul fiqih ada sebuah kaidah, “Al ‘ash-lu fil asy-ya-i al ibahah” (hukum asal setiap sesuatu adalah boleh atau halal). Jadi, semua sumber-sumber makanan bagi manusia, pada mulanya ia dihalalkan. Kecuali jika Allah Ta’ala menerangkan keharamannya, maka ia pun menjadi haram.
Kaidah ini sangat penting, agar manusia memahami betapa Pemurahnya Allah Ta’ala. Di dunia ini sangat banyak yang dihalalkan oleh Allah, dan sangat sedikit yang diharamkan, misalnya seperti bangkai binatang, darah yang mengalir, daging babi, hewan yang disembelih bukan karena Allah (Al Maa’idah: 3). Begitu pula haram minum khamr, makan binatang bertaring, binatang berkuku tajam, binatang yang hidup di dua alam (amfibi), binatang menjijikkan, makan dari hasil ribawi, makan hasil judi, hasil kriminalitas, dan lainnya.
Jika tidak ada nash qath’iy yang mengharamkan makan lebah, maka ia tidak haram untuk mengkonsumsinya. Ia masuk pada kaidah, hukum asal segala sesuatu halal, selama belum ada yang mengharamkannya.
Larangan Membunuh Lebah
Dalam hadits disebutkan, Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam melarang membunuh empat jenis hewan: (1) Semut yang merayap; (2) Lebah madu; (3) Burung hud-hud; (4) Burung suradi. (HR. Ahmad dan lainnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu).
Dalam hadits di atas, Nabi melarang membunuh lebah madu. Prof. Mustafa Ya’qub berpendapat, sesuatu yang haram dibunuh, ia juga haram dikonsumsi. Jika lebah madu haram dibunuh, maka ia haram dikonsumsi.
Jika kaidahnya dikaitkan dengan soal pembunuhan, maka pendapat di atas akan memiliki konsekuensi, yaitu: (a) Jika suatu binatang boleh dibunuh, maka dia menjadi halal dimakan; (b) Jika suatu binatang sunnah/wajib dibunuh, berarti dia lebih utama untuk dimakan. Begitulah konsekuensinya, jika kaidahnya didasarkan pada soal pembunuhan.
Lalu bagaimana dengan hadits berikut ini, bahwa Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada lima jenis binatang yang jahat, harus dibunuh di Tanah Halal atau Tanah Haram (Madinah dan Makkah) yaitu: ular, gagak, tikus, anjing galak, dan burung elang.” (HR. Muslim).
Jika kaidahnya dikaitkan dengan soal boleh-tidaknya dibunuh, berarti binatang-binatang liar dan jahat di atas lebih utama untuk dimakan, padahal menurut Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam semua binatang itu haram dimakan. Mereka bertaring, berkuku tajam, dan menjijikkan.
Status Hukum Makan Lebah
Ketika hendak memutuskan hukum memakan lebah, disini ada beberapa konsideran (pertimbangan) yang menjadi acuan, yaitu:
(1) Hukum asal segala sesuatu halal/boleh, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
(2) Lebah tidak boleh secara sengaja dibunuh, sebagaimana semut, burung Hud Hud, dan burung Suradi.
(3) Islam melarang kita memakan bangkai binatang, kecuali bangkai ikan dan belalang. (HR. Ibnu Majah).
(4) Dalam situasi darurat, sesuatu yang semula haram bisa menjadi halal, asalkan mengkonsumsinya tidak berlebihan. (Al Maa’idah: 3).
Pada awalnya, tidak ada ayat Al Qur’an atau hadits shahih yang mengharamkan memakan lebah. Secara sederhana bisa disimpulkan, memakan lebah halal. Tetapi Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam melarang kita membunuh lebah. Bagaimana mungkin akan memakan lebah tanpa membunuhnya? Jelas ketika kita memakan lebah, berarti kita akan membunuhnya. Nah, sesuatu yang semula tampak halal, mulai ada pembatasnya.
Kemudian muncul pemikiran kritis, “Tetapi bukankah kita bisa memakan lebah yang sudah mati, sehingga tidak perlu membunuh lebah terlebih dahulu? Biarkan saja dia mati dulu, baru nanti dikonsumsi setelah mati.” Jika demikian, berarti ada peluang bisa memakan lebah yang telah mati, bukan secara sengaja membunuhnya. Berarti ada celah kehalalan dari lebah-lebah yang mati secara alamiah.
Namun, pemikiran seperti itu akan terbentur ketentuan Al Qur’an dan Sunnah, bahwa kita dilarang memakan bangkai binatang. Hanya ada dua bangkai yang boleh dimakan, yaitu ikan dan belalang. Lebah tidak termasuk di dalamnya.
Jadi intinya, lebah itu memang haram dimakan, meskipun tidak ada dalil qath’iy yang melarang secara tegas memakannya. Dalilnya adalah, hadits Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam yang melarang kita membunuh lebah, sedangkan tidak mungkin akan mengkonsumsinya tanpa terlebih dulu membunuhnya. Dalil lain adalah keharaman memakan bangkai, termasuk bangkai lebah di dalamnya.
Jika ada keperluan-keperluan khusus, misalnya untuk terapi pengobatan, sehingga seseorang harus memakan lebah, maka hal itu masuk hukum darurat, diperbolehkan, asalkan bersifat sementara dan tidak berlebihan.
Lebah, semut, burung Hud Hud, burung Suradi, termasuk di antara binatang-binatang yang dihormati dalam Islam. Lebah sendiri diabadikan dalam Al Qur’an pada Surat ke-16, yaitu Surat An Nahl (Lebah). Ayat di bawah ini menunjukkan keutamaan lebah di hadapan Allah Ta’ala:
“Dan Rabb-mu telah mengilhamkan kepada lebah itu: ‘Buatlah olehmu (wahai lebah) sarang di bukit, di pohon, dan pada tempat yang dibuat (oleh manusia). Kemudian makanlah dari setiap buah-buahan dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah memudahkan.’ Dari perutnya kemudian keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat bagi manusia.” (An Nahl: 68-69).
Dapat disimpulkan, lebah madu adalah hewan yang tidak boleh dimakan. Namun alasannya bukan karena ia hewan bermanfaat, menzhalimi dirinya, atau khawatir populasi lebah akan punah, tetapi Nabi melarang membunuhnya dan Islam melarang kita memakan bangkai binatang.
Demikian yang bisa dikemukakan. Semoga bermanfaat. Amin. Wallahu a’lam bisshawaab.
Selesai ditulis: Bandung, 2 Juli 2008.
Oleh Abu Muhammad Waskito.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar