Jagalah Sholatmu
“Dari Abdulloh bin Amr dari Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam bahwasannya beliau pernah menyebut sholat pada suatu hari, lalu beliau Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda: “Barang siapa menjaga sholat maka baginya adalah cahaya, bukti dan keselamatan besok pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang tidak menjaganya maka tidak ada baginya cahaya, bukti dan keselamatan, dan besok pada hari kiamat akan bersama Qorun, Fir’aun , Hamman dan Ubai bin Kholaf.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dihasankan oleh al Mundziri dalam at Targhib wa Tarhib dan Ibnu Abdil Hadi dalam Tanqih Tahqiq)
Rasolullah Shalallahu Alaihi Wassalam menyebutkan empat tokoh tersebut, karena mereka adalah para gembong kekufuran . Dan didalamnya terdapat sebuah rahasia yang menarik, karena orang yang meninggalkan sholat biasanya sebab disibukan oleh harta, kerajaan, kementrian dan pekerjaannya.
Jadi, barangsiapa disibukan dengan hartanya maka dia bersama Qorun, dengan kerajaannya maka bersama Fir’aun, dengan kementriannya maka bersama Haman dan oleh pekerjaannya maka bersama Ubai bin Kholaf. (ash-Sholatu wa Hukmu Tarikha, Ibnu Qoyyim Rahimahullah hlm. 63-64)
Hisab Waktu Sholat
Para Ulama bersepakat bahwa salah satu syarat sahnya sholat adalah masuknya waktu. Syariat Islampun telah menjelaskan waktu-waktu sholat secara jelas dan terperinci, hanya saja pada zaman sekarang, disebabkan banyaknya bangunan tinggi, kebanyakan manusia berpedoman dengan hisab, jam, dan kalender. Apakah hal ini dibenarkan?! Ternyata para ulama bersepakat tentang bolehnya berpedoman dengan hisab untuk waktu sholat. (Fiqhu Nawazil fil Ibadat, DR. Khalid al-Musyaiqih hlm. 38-39)
Kemudian timbul pertanyaan penting, kenapa para ulama mengingkari penentuan puasa Romadhon dengan hisab, tetapi mereka tidak mengingkari nya dlam penentuan waktu sholat?!
Imam al-Qorrofi menjawab masalah ini, katanya: “Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya sholat Dhuhur, demikian juga waktu-waktu sholat lainnya.” Alloh berfirman:
“Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula sholat ) Subuh. Sesungguhnya ssholat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isro:78)
ayat ini merupakan perintah agar sholat-sholat tersebut ditunaikan pada waktunya. Demikian pula dalil-dalail lainnya dari al-Qur’an dan Sunnah yang menunjukan bahwa waktu merupakan sebab. Barangsiapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh karena itu, maka hisab yang yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu sholat.
Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya pada hisab, tetapi dengan salah satu diantara dua perkara : Pertama: Melihat hilal. Kedua: Menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila hilal tidaak terlihat. Wallahu aa’lam.(al-Furuq 2/323-324)
Sholat di pesawat
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam pernah ditanya tentang sholat di atas perahu, beliau menjawab:
“Sholatlah dengan berdiri, kecuali apabila kamu takut tenggelam.” (HR. Hakim, daruquthni, Baihaqi dishohihkan oleh al-Albani Rahimahullah dalam Ashlu Sifat Sholat Nabi )
Syaikh al-Albani Rahimahullah mengatakan:”Hukum sholat diatas pesawat seperti sholat di atas perahu, hendaklah sholat dengan berdiri apabila mampu, jik tidak maka sholatlah dengan duduk dan berisyarat ketika ruku’ dan sujud” (Ashlu Sifat Sholat nabi 1/102)
Para ulama sepakat tentang sahnya sholat di atas perahu/kapal, karena memang kapal sudah ada pada zaman mereka. ( Lihat ad-Durar ats-Tsaminah fi Hukmis Sholat ‘ala Safinah oleh Ahmad al-Hamawi, Tahqiq Masyur Hasan)
Imam nawawi Rahimahullah menyebutkan dalam al Majmu’ 3/214 sebuah permasalahan yang mirip dengan pesawat, beliau berkata :”Dan sah sholat seseorang yang diangkat diatas kasur di udara.”
Dari sinilah, maka para ulama masa kini berpendapat sahnya sholat diatas pesawat, semisal Syaikh asy-Synnqithi rahimahullah, al-Albani rahimahullah, ibnu Utsaimin Rahimahullah, Ibnu Baz rahimahullah dan lain sebagainya. (Lihat al Ijbah as-Shadirah fi Shihhatis Sholat fi Thaairoh, oleh Syaikh Muhammad Amin asy-Synqithi, tahqiq Dr, Ahmad ath-Thoyyar, Ahkamu Thoirah oleh Dr. Hasan bin Salim al-Buroiki)
Sholat dengan Radio
Sekitar tahun 1375 H. pernah terbit sebuah kitab unik berjudul “Al-Iqna’ bi Shihhatis Sholah Kholfa al Midhya’” (Penjelasan memuaskan teentang sahnya sholat jum’at dibelakang radio) karya Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari. Namun kitab ini mendapat kan banyak kritikan dari para ulama, diantaranya Syaikh Abdurrohman as-Sa’di dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah ‘anil Masail al-Waqi’ah hlm. 317-320.
Syaikh ibnu Utsaimin rahimahullah juga berkata:”Tidak ragu lagi bahwa pendaapat bolehnya sholat di belakang radio adalah bathil, karena akan mengantarkan kepada peniadaan sholat jama'ah dan Jum’at, dan tidak ada bersambungnya shof sholat. Sungguh hal ini sangat jauh dari tujuan disyariaatkannya sholat jum’at dan jama’ah.
Pendapat ini juga memiliki dampak negatif yang sangat paarah, karena nanti orang yang malas sholat Jum’at dan jama’ah akan berkata :”Dengan cara sholat saja di rumah bersama anak atau saudara!”
Jadi, pendapat yang kuat: Tidak sah makmum mengikuti imam di luar masjid kecuali apabila shofnya telah bersambung, harus terpenuhi dua syarat : (1) mendengar takbir. (2) bersambungnya shof. (Syarh Mumti’ 4/229-300)
Sehat Dengan Sholat
Tidak ada perselisihan di kalangan para ahli bidang kesehatan bahwa sholat dapat menyehatkan badan dan menghilangkan beberapa peenyakit. Hal itu sangat nyata, karena dalam sholat terdapat gerakan-gerakan badaan yang dapat menghilangkan kemalasan, menyegarkan anggota baadaan, menangkal dan menghilangkan penyakit. Lebih penting dari itu, sholat dapat melapaangkan dada, menguatkan hati dan mencerahkan wajah seorang. (Lihat ath.Thibbun Nabawi, Ibnu Qoyyim Rahimahullah hlm. 304 Adab Syari’iyyah, Ibnu Muflih 1/2207)
Posisi Kaki Saat Sujud
Para Ulama telah beerselisih pndapat tentang posisi kaki saat sujud:
1. Sebagian mengatakan: Sunnahnya adalah merapatkan dua kaki saat sujud. Hal ini merupakan madzhab Hanafiyyah. (Hasyiyah Ibnu Abidin 1/332)
2. Sebagian lagi berpendapat: Sunnahnya adalah merenggangkan antara keduanya. Hal ini merupakan madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah. (Raodhah Tholibin, Nawawi Rahimahullah 1/259, Mukhtashor Ifadat hlm.93)
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, berdasarkan hadist berikut:
Aisyah Radhiallahuanha berkata: “Aku pernah kehilangan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam yang bersamaku diranjangku, kemudian aku mendapatinya sedang sujud, merapatkan kedua kakinya, menjadikannya kedua ujung jari kakinya mengahadap kiblat.” (Shohih. Riwayat aath-Thohawi 1/223, Ibnu Khuzaimah 1/328, Ibnu Hibban 1933, al-Hakim 2/57, al-Baihaqi 2/116 dan dishohihkan al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Talkhis 3/475 dan al-Albani rahimahullah dalam Ashlu Shifat Sholah 2/737).
Hadist ini menunjukan tentang disyari’atkannya merapatkan dua mata kaki saat ssujud. (at-Tarjih fi Masail Thoharah wa Sholah hlm. 242-243, Muhammad bin Umar Bazimul)
Melafadzkan Niat
Diceritakan, ada seorang awam dari penduduk Nejed pernah di Masjidil Haram hendak menunaikan Sholat Dzhuhur, kebetulan di sampingnya adalah seorang yang sukaa mengeraskan niaatnya. Tatkala sudah iqomat, oran tersebut mengatakan: “Ya Alloh, saya niat untuk sholat Dzhuhur emapat Raka’at karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala di belakang imam Masjidil Haram.” Tatkala orang tersebut hendak melakukan takbiratul ihrom, berkatalah si awam tadi: “Sebentar saudara! Masih kurang, (anda belum menyebut) tanggal, hari, bulan, dan tahunnya!! Akhirnya orang itu pun bengong terheran-heran!!. (Syarh Arbain Nawawiyyah, Ibnu Utsaimin rahimahullah hlm 14-15).
Lupa Sujud Sahwi
Yahya bin Ziyad al-Farro’, seorang ahli bidang ilmu nahwu pernah berkata:”Jarang sekali seorang yang menggeluti suatu bidang ilmu tertentu, kecuali akan mudah baginya bidang-bidang ilmu lainnya.” Mendengarnya, Muhammad bin Hasan berkata paadaanyaa:”Kamu telah menggeluti bidang bahasa Arab, sekarang kita akan bertanya padamu tentang Fiqih.” Al-Farro’ berkata:”Silahkan!.” Muhammad bertanya :”Bagaimana menurutmu tentang seorang yang sholat yang lupa lalu dia sujud, kemudian dia lupa dalam sujudnya?!.” Al-Farro’ berfikir sejenak lalu menjawab:”Barangsiapa yang lupa dalam sujud sahwi maka dia tidak sujud sahwi karena mushogor (kata yaang dikecilkan) tidak bisa dikecilkan lagi .” Akhirnya, Muhammad berkata:” Aku tidak menyangka ada manusia yang melahirkan orang sepertimu!!” (Tahdzib-Tahdzib, Ibnu Hajar 6/133)
Sholat-Sholat Bid’ah
Syaikh Abu Hafsz al-Mushili Rahimahullah berkata:”Tidak ada satu hadistpun yang shohih daari Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam teentang sholat Rogho’ib, Mi’roj, Nisfhu Sya’ban, Sholat iman, hari-hari tertentu dalam sepekan, birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua), Asyura dan sebagainya.”(Al-Mughni ‘anil Hifdzi wal Kitab Junnatul Murtab hlm.297)
Syaikh Zainudin al-Malibari rahimahullah berkata:”Adapun sholat yang dikenal dengan sholat malam Roghoib, Nisfhu Sya’ban, Asyura, maka hal itu merupakan bid’ah yang jelek dan hadist-hadistnya adalah palsu. Lebih jelek lagi, adalaah kebiasaan sebagian orang untuk melakukan sholat hari kamis pada pekan akhir bulan Romadhon dengan aanggapan aakan meleburkan sholat-sholat yang ditinggalkan selama setahun atau selama hidup. Semua itu hukumnya adalah haram.” (Fathul Mu’in I’anah Thiolibin 1/431-433)
“Dari Abdulloh bin Amr dari Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam bahwasannya beliau pernah menyebut sholat pada suatu hari, lalu beliau Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda: “Barang siapa menjaga sholat maka baginya adalah cahaya, bukti dan keselamatan besok pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang tidak menjaganya maka tidak ada baginya cahaya, bukti dan keselamatan, dan besok pada hari kiamat akan bersama Qorun, Fir’aun , Hamman dan Ubai bin Kholaf.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dihasankan oleh al Mundziri dalam at Targhib wa Tarhib dan Ibnu Abdil Hadi dalam Tanqih Tahqiq)
Rasolullah Shalallahu Alaihi Wassalam menyebutkan empat tokoh tersebut, karena mereka adalah para gembong kekufuran . Dan didalamnya terdapat sebuah rahasia yang menarik, karena orang yang meninggalkan sholat biasanya sebab disibukan oleh harta, kerajaan, kementrian dan pekerjaannya.
Jadi, barangsiapa disibukan dengan hartanya maka dia bersama Qorun, dengan kerajaannya maka bersama Fir’aun, dengan kementriannya maka bersama Haman dan oleh pekerjaannya maka bersama Ubai bin Kholaf. (ash-Sholatu wa Hukmu Tarikha, Ibnu Qoyyim Rahimahullah hlm. 63-64)
Hisab Waktu Sholat
Para Ulama bersepakat bahwa salah satu syarat sahnya sholat adalah masuknya waktu. Syariat Islampun telah menjelaskan waktu-waktu sholat secara jelas dan terperinci, hanya saja pada zaman sekarang, disebabkan banyaknya bangunan tinggi, kebanyakan manusia berpedoman dengan hisab, jam, dan kalender. Apakah hal ini dibenarkan?! Ternyata para ulama bersepakat tentang bolehnya berpedoman dengan hisab untuk waktu sholat. (Fiqhu Nawazil fil Ibadat, DR. Khalid al-Musyaiqih hlm. 38-39)
Kemudian timbul pertanyaan penting, kenapa para ulama mengingkari penentuan puasa Romadhon dengan hisab, tetapi mereka tidak mengingkari nya dlam penentuan waktu sholat?!
Imam al-Qorrofi menjawab masalah ini, katanya: “Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya sholat Dhuhur, demikian juga waktu-waktu sholat lainnya.” Alloh berfirman:
“Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula sholat ) Subuh. Sesungguhnya ssholat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isro:78)
ayat ini merupakan perintah agar sholat-sholat tersebut ditunaikan pada waktunya. Demikian pula dalil-dalail lainnya dari al-Qur’an dan Sunnah yang menunjukan bahwa waktu merupakan sebab. Barangsiapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh karena itu, maka hisab yang yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu sholat.
Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya pada hisab, tetapi dengan salah satu diantara dua perkara : Pertama: Melihat hilal. Kedua: Menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila hilal tidaak terlihat. Wallahu aa’lam.(al-Furuq 2/323-324)
Sholat di pesawat
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam pernah ditanya tentang sholat di atas perahu, beliau menjawab:
“Sholatlah dengan berdiri, kecuali apabila kamu takut tenggelam.” (HR. Hakim, daruquthni, Baihaqi dishohihkan oleh al-Albani Rahimahullah dalam Ashlu Sifat Sholat Nabi )
Syaikh al-Albani Rahimahullah mengatakan:”Hukum sholat diatas pesawat seperti sholat di atas perahu, hendaklah sholat dengan berdiri apabila mampu, jik tidak maka sholatlah dengan duduk dan berisyarat ketika ruku’ dan sujud” (Ashlu Sifat Sholat nabi 1/102)
Para ulama sepakat tentang sahnya sholat di atas perahu/kapal, karena memang kapal sudah ada pada zaman mereka. ( Lihat ad-Durar ats-Tsaminah fi Hukmis Sholat ‘ala Safinah oleh Ahmad al-Hamawi, Tahqiq Masyur Hasan)
Imam nawawi Rahimahullah menyebutkan dalam al Majmu’ 3/214 sebuah permasalahan yang mirip dengan pesawat, beliau berkata :”Dan sah sholat seseorang yang diangkat diatas kasur di udara.”
Dari sinilah, maka para ulama masa kini berpendapat sahnya sholat diatas pesawat, semisal Syaikh asy-Synnqithi rahimahullah, al-Albani rahimahullah, ibnu Utsaimin Rahimahullah, Ibnu Baz rahimahullah dan lain sebagainya. (Lihat al Ijbah as-Shadirah fi Shihhatis Sholat fi Thaairoh, oleh Syaikh Muhammad Amin asy-Synqithi, tahqiq Dr, Ahmad ath-Thoyyar, Ahkamu Thoirah oleh Dr. Hasan bin Salim al-Buroiki)
Sholat dengan Radio
Sekitar tahun 1375 H. pernah terbit sebuah kitab unik berjudul “Al-Iqna’ bi Shihhatis Sholah Kholfa al Midhya’” (Penjelasan memuaskan teentang sahnya sholat jum’at dibelakang radio) karya Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari. Namun kitab ini mendapat kan banyak kritikan dari para ulama, diantaranya Syaikh Abdurrohman as-Sa’di dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah ‘anil Masail al-Waqi’ah hlm. 317-320.
Syaikh ibnu Utsaimin rahimahullah juga berkata:”Tidak ragu lagi bahwa pendaapat bolehnya sholat di belakang radio adalah bathil, karena akan mengantarkan kepada peniadaan sholat jama'ah dan Jum’at, dan tidak ada bersambungnya shof sholat. Sungguh hal ini sangat jauh dari tujuan disyariaatkannya sholat jum’at dan jama’ah.
Pendapat ini juga memiliki dampak negatif yang sangat paarah, karena nanti orang yang malas sholat Jum’at dan jama’ah akan berkata :”Dengan cara sholat saja di rumah bersama anak atau saudara!”
Jadi, pendapat yang kuat: Tidak sah makmum mengikuti imam di luar masjid kecuali apabila shofnya telah bersambung, harus terpenuhi dua syarat : (1) mendengar takbir. (2) bersambungnya shof. (Syarh Mumti’ 4/229-300)
Sehat Dengan Sholat
Tidak ada perselisihan di kalangan para ahli bidang kesehatan bahwa sholat dapat menyehatkan badan dan menghilangkan beberapa peenyakit. Hal itu sangat nyata, karena dalam sholat terdapat gerakan-gerakan badaan yang dapat menghilangkan kemalasan, menyegarkan anggota baadaan, menangkal dan menghilangkan penyakit. Lebih penting dari itu, sholat dapat melapaangkan dada, menguatkan hati dan mencerahkan wajah seorang. (Lihat ath.Thibbun Nabawi, Ibnu Qoyyim Rahimahullah hlm. 304 Adab Syari’iyyah, Ibnu Muflih 1/2207)
Posisi Kaki Saat Sujud
Para Ulama telah beerselisih pndapat tentang posisi kaki saat sujud:
1. Sebagian mengatakan: Sunnahnya adalah merapatkan dua kaki saat sujud. Hal ini merupakan madzhab Hanafiyyah. (Hasyiyah Ibnu Abidin 1/332)
2. Sebagian lagi berpendapat: Sunnahnya adalah merenggangkan antara keduanya. Hal ini merupakan madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah. (Raodhah Tholibin, Nawawi Rahimahullah 1/259, Mukhtashor Ifadat hlm.93)
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, berdasarkan hadist berikut:
Aisyah Radhiallahuanha berkata: “Aku pernah kehilangan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam yang bersamaku diranjangku, kemudian aku mendapatinya sedang sujud, merapatkan kedua kakinya, menjadikannya kedua ujung jari kakinya mengahadap kiblat.” (Shohih. Riwayat aath-Thohawi 1/223, Ibnu Khuzaimah 1/328, Ibnu Hibban 1933, al-Hakim 2/57, al-Baihaqi 2/116 dan dishohihkan al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Talkhis 3/475 dan al-Albani rahimahullah dalam Ashlu Shifat Sholah 2/737).
Hadist ini menunjukan tentang disyari’atkannya merapatkan dua mata kaki saat ssujud. (at-Tarjih fi Masail Thoharah wa Sholah hlm. 242-243, Muhammad bin Umar Bazimul)
Melafadzkan Niat
Diceritakan, ada seorang awam dari penduduk Nejed pernah di Masjidil Haram hendak menunaikan Sholat Dzhuhur, kebetulan di sampingnya adalah seorang yang sukaa mengeraskan niaatnya. Tatkala sudah iqomat, oran tersebut mengatakan: “Ya Alloh, saya niat untuk sholat Dzhuhur emapat Raka’at karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala di belakang imam Masjidil Haram.” Tatkala orang tersebut hendak melakukan takbiratul ihrom, berkatalah si awam tadi: “Sebentar saudara! Masih kurang, (anda belum menyebut) tanggal, hari, bulan, dan tahunnya!! Akhirnya orang itu pun bengong terheran-heran!!. (Syarh Arbain Nawawiyyah, Ibnu Utsaimin rahimahullah hlm 14-15).
Lupa Sujud Sahwi
Yahya bin Ziyad al-Farro’, seorang ahli bidang ilmu nahwu pernah berkata:”Jarang sekali seorang yang menggeluti suatu bidang ilmu tertentu, kecuali akan mudah baginya bidang-bidang ilmu lainnya.” Mendengarnya, Muhammad bin Hasan berkata paadaanyaa:”Kamu telah menggeluti bidang bahasa Arab, sekarang kita akan bertanya padamu tentang Fiqih.” Al-Farro’ berkata:”Silahkan!.” Muhammad bertanya :”Bagaimana menurutmu tentang seorang yang sholat yang lupa lalu dia sujud, kemudian dia lupa dalam sujudnya?!.” Al-Farro’ berfikir sejenak lalu menjawab:”Barangsiapa yang lupa dalam sujud sahwi maka dia tidak sujud sahwi karena mushogor (kata yaang dikecilkan) tidak bisa dikecilkan lagi .” Akhirnya, Muhammad berkata:” Aku tidak menyangka ada manusia yang melahirkan orang sepertimu!!” (Tahdzib-Tahdzib, Ibnu Hajar 6/133)
Sholat-Sholat Bid’ah
Syaikh Abu Hafsz al-Mushili Rahimahullah berkata:”Tidak ada satu hadistpun yang shohih daari Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam teentang sholat Rogho’ib, Mi’roj, Nisfhu Sya’ban, Sholat iman, hari-hari tertentu dalam sepekan, birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua), Asyura dan sebagainya.”(Al-Mughni ‘anil Hifdzi wal Kitab Junnatul Murtab hlm.297)
Syaikh Zainudin al-Malibari rahimahullah berkata:”Adapun sholat yang dikenal dengan sholat malam Roghoib, Nisfhu Sya’ban, Asyura, maka hal itu merupakan bid’ah yang jelek dan hadist-hadistnya adalah palsu. Lebih jelek lagi, adalaah kebiasaan sebagian orang untuk melakukan sholat hari kamis pada pekan akhir bulan Romadhon dengan aanggapan aakan meleburkan sholat-sholat yang ditinggalkan selama setahun atau selama hidup. Semua itu hukumnya adalah haram.” (Fathul Mu’in I’anah Thiolibin 1/431-433)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar