Senin, 01 Juli 2013

Sejarah Polri menuju era Reformasi

I. P E N D A H U L U A N

1. U m u m. 


Era reformasi yang berkembang dalam kehidupan politik, hukum, dan ekonomi masyarakat Indonesia saat ini dipengaruhi oleh suasana tatanan kehidupan masyarakat yang berkembang dalam lingkup global, yang pada intinya menuntut diwujudkannya iklim demokratisasi dengan ciri adanya kepastian hukum, keadilan atau keseimbangan untuk semua pihak, dan keterbukaan dalam sistem kehidupan masyarakat. Salah satu pemenuhan tuntutan kebutuhan tersebut adalah diwujudkannya organ aparat penegak hukum dan ketertiban umum yang bebas dari pengaruh kekuasaan birokrasi pemerintahan maupun militer, serta profesional dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Polri sebagai unsur penegak komponen aparat penegak hukum dan ketertiban umum dalam sistem keamanan nasional dituntut juga untuk mampu mewujudkan iklim kepastian hukum, keadilan dan keterbukaan dalam pelaksanaan peran dan tanggung jawabnya. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan suatu kemampuan Polri yang mandiri dan profesional, setara dengan tingkat kehidupan masyarakat yang dilayaninya. 
Pada hakikatnya, tuntutan profesionalisme dalam pelaksanaan tugas Polri merupakan salah satu kebutuhan dalam mewujudkan berbagai tuntutan masyarakat masyarakat pada era reformasi ini. Untuk itu, berbagai pola kerja, paradigma maupun tatanan kemampuan Polri harus dapat disesuaikan dengan berbagai tuntutan kehidupan dalam era reformasi tersebut. 
Status kemandirian yang diperoleh Polri saat ini tidak terlepas dari peristiwa yang sangat bersejarah dalam kehidupan bangsa Indonesia, yaitu saat jatuhnya Presiden Soeharto setelah melalui proses perjuangan yang sangat panjang dan memakan korban dari kalangan mahasiswa, terkenal dengan sebutan Tragedi Trisakti 12 Mei 1998. Melalui pengetahuan dan pemahaman yang jelas tentang sejarah Polri dan status kemandiriannya saat ini dihadapkan dengan tantangan di era reformasi, diharapkan anggota Polri dapat lebih meningkatkan pengabdiannya, yang pada muaranya akan mendukung proses reformasi itu sendiri.

2. Khusus

Isue yang sering terungkap selama ini adalah menggambarkan persepsi kepolisian di Indonesia dalam kondisi role conflict atau mungkin disfungsional. Dari beberapa pernyataan yang menggambarkan sikap dan pandangan tentang gagasan pembaharuan kepolisian di Indonesia, perlu kita pahami persepsi secara wajar. Pemahaman subyektif terhadap masalah tidaklah akan membuat terang perkaranya, lebih-lebih bila mengatasi tidak secara benar.
Sejalan dengan kondisi tersebut, tuntutan-tuntutan untuk dilakukannya suatu perubahan telah ditanggapi dengan memfungsikan kembali bagian-bagian dalam kehidupan sosial yang mengalami disfungsi atau non fungsi. Perspektif ini juga sering dikatakan sebagai integration approachorder approach atau equilibrium approachsystem approach, yang pada prinsipnya memusatkan perhatian kepada masalah keteraturan (order).
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai organisasi besar dan kompleks mengemban tugas yang sangat luas, karenanya diperlukan : (1) kemampuan teknis operasional yang harus didukung oleh teknologi kepolisian yang sederhana, madya, maupun yang canggih. Perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam dalam lingkup nasional maupun internasional dimasa mendatang diperkirakan akan diikuti oleh kriminalitas dan gangguan kamtibmas yang lebih berat dan menggunakan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang lebih canggih; (2) manajer-manajer kepolisian dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi dan manajer-manajer fungsiomal yang lebih berkualitas.
Peran Polri lebih ditekankan pada pelayanan, pengayoman, dan pelindung masyarakat, sehingga partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat lebih kreatif dan produktif.

3. Maksud dan tujuan.

a. Maksud. 

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang sejarah perkembangan kepolisian sampai dengan tuntutan reformasi termasuk reformasi Polri serta upaya Polri menyikapi era reformasi.

b. Tujuan.

Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas pengabdian anggota Polri, serta dalam hal ini juga sebagai bahan informasi mengenai perjalanan reformasi Polri.

4. Ruang lingkup.

Ruang Lingkup penulisannya meliputi dibatasi pada sejarah Polri serta peran Polri dalam era reformasi.

5. Pendekatan.

Penulisan karya tulis tentang Polri di era reformasi ini menggunakan pendekatan sejarah, sebab dan akibat. Dengan pendekatan sejarah akan diuraikan perkembangan Polri sejak jaman Hindia Belanda sampai dengan jaman Orde Baru. Pendekatan sebab dan akibat akan menguraikan proses reformasi yang terjadi di Indonesia yang menyebabkan Polri terpisah dari ABRI/TNI dengan segala implikasinya.

6. Tata Urut.

BAB I P E N D A H U L U A N
BAB II SEJARAH, KEDUDUKAN DAN PERANAN POLRI SEBELUM ERA REFORMASI
BAB III PROSES TERJADINYA REFORMASI DI TUBUH POLRI
BAB IV UPAYA POLRI MENJAWAB TUNTUTAN MASYARAKAT DI ERA REFORMASI
BAB V P E N U T U P

II. SEJARAH KEDUDUKAN DAN PERANAN POLRI SEBELUM ERA REFORMASI 

7. Sejarah Polri yang di dalamnya termasuk kedudukan dan peranannya, dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut :

a. Kepolisian pada jaman Hindia Belanda.

Secara administratif dalam arti sempit (termasuk Sekolah Polisi di Sukabumi ), Lembaga Kepolisian diurus oleh Binnenlandsch BestuurRechts Politieberada di bawah Procureur Generaal, tetapi operasional sepenuhnya berada di tangan Residen. Pada jaman itu, peran Polri semata–mata adalah alat kolonial.

b. Kepolisian pada jaman Jepang.

Kedudukan Kepolisian mengikuti sistem pemerintahan Jepang yang membagi wilayah Indonesia menjadi dua lingkungan kekuasaan, yaitu wilayah Sumatera, Jawa dan Madura dikuasai Angkatan Darat (Gunseikan) dan Indonesia Timur serta Kalimantan dikuasai Angkatan Laut, (Minseifu – Tyokan) masing – masing lingkungan kekuasaan dibagi dalam syu (sama dengan Karesidenan) tiap–tiap syu dikepalai oleh Syutyukan, yang sekaligus menjadi Kepala Kepolisian Karesidenan. Pimpinan kepolisian sehari–hari dilaksanakan oleh seorang Kepala Bagian Kepolisian (Keisatsu – Butyo) atau Chiang – Butyo (Kepala Bagian Keamanan). Pada masa itu kepolisian juga merupakan alat kekuasaan/pemerintahan tentara Jepang.

c. Kepolisian pada jaman Revolusi Fisik.

Setelah Jepang menyerah dan Indonesia merdeka, Kepolisian Negara Republik Indonesia segera dibentuk dan diberlakukan Perundang–undangan Hindia Belanda. Berdasarkan Ketetapan Pemerintah Nomor 11/SD/1946, pada tanggal 1 Juli 1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara R.I. dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara (KKN) yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Inilah saat lahirnya Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mencakup seluruh wilayah R.I. dan seluruh tugas Kepolisian termasuk ikut bertempur dan menyatakan diri sebagai ‘combattan’. Melalui Penetapan Pemerintah Nomor 1/1948 tanggal 4 Pebruari 1948, kedudukan Polri menjadi di bawah Presiden / Wakil Presiden.

d. Kepolisian pada jaman Demokrasi Parlementer.

Kepolisian bertanggung jawab kepada Perdana Menteri, Polri melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum, pelindung dan pengayom masyarakat serta ikut aktif dalam penumpasan pemberontakan dan operasi–operasi militer.

e. Kepolisian pada jaman Demokrasi Terpimpin sampai dengan jaman Orde Baru. 

Berdasarkan Keppres Nomor 153 tahun 1959 tanggal 10 Juli 1959, Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan sebagai Menteri Negara ex-officio dan selanjutnya menjadi Menteri Muda Kepolisian sejajar dengan Menteri Muda Pertahanan, Menteri Muda Kehakiman dan Menteri Muda Veteran. Melalui TAP MPR Nomor II tahun 1960, Kepolisian dinyatakan masuk dalam jajaran ABRI dan melalui Keppres Nomor 21 tahun 1960, sebutan Menteri Muda Kepolisian diganti dengan Menteri. Kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI lebih ditegaskan dalam UU Nomor 13 tahun 1961, kemudian dikuatkan dengan UU Nomor 20 tahun 1982 dan UU Nomor 28 tahun 1997. Di dalam UU tersebut, fungsi kepolisian digabungkan dengan fungsi pertahanan keamanan negara sehingga menimbulkan kerancuan dan tumpang tindih antara fungsi penegakan hukum dan pemelihara ketertiban masyarakat dengan fungsi pertahanan keamanan negara.
Brigjen Pol. Drs. R.Abdussalam SH. MH. dalam artikelnya yang berjudul "Hormatilah Kompetensi Polri", dimuat di Jurnal Police Watch 1, menyatakan bahwa selama pemerintahan Orde Baru, Polri tak dapat dilepaskan dari TNI dengan Dwi Fungsinya sebagai pemegang kekuasaan. Kompetensi Polri pun tidak dapat dilepaskan/dipisahkan baik dari para penyelenggara negara yang memegang kekuasaan maupun masyarakat. Karena pemegang kekuasaan dan masyarakat selalu memberi warna, kompetensi Polri di lapangan berada pada dua sisi yaitu berada dan bersatu dengan pemegang kekuasaan, dalam arti sebagai alat kekuasaan; dan pada sisi lain sebagai alat negara penegak hukum yang tidak dapat dipisahkan dari Criminal Justice System (CJS).

8. Mencermati perkembangan kedudukan, tugas, fungsi dan peranan kepolisian dari jaman penjajahan Belanda hingga jaman Orde Baru, tersirat adanya pergeseran misi, visi dan tujuan Kepolisian. Hal ini disebabkan oleh kedudukan Polri dan peran kepolisian dalam sistem politik negara yang memberikan beban kepada Kepolisian sebagai alat kekuasaan yang jelas bertentangan dengan visi, misi dan tujuan Kepolisian secara universal. Tujuan menangkal bahaya, memberikan pelayanan dan pengayoman untuk mencapai ketentraman serta memberikan jaminan terhadap tegaknya kebenaran dan keadilan menjadi terabaikan. Pada akhirnya Polri menjadi tidak profesional dan jauh dari masyarakat.

9. Organisasi di mana Polri berada, mewadahi dan memberi struktur pada pelaksanaan fungsi kepolisian yang pada gilirannya memberikan cap terhadap aktivitas perpolisian di situ. Dalam hubungan ini, kita mempunyai sejarah yang penting, yaitu pada waktu Polri dimasukkan ke dalam organisasi ABRI. Banyak pekerjaan kepolisian yang rusak dan bernoda (tainted) karena diwadahi dalam ABRI tersebut. Kasus–kasus besar seperti Marsinah, Udin, Tjetje di masa lampau merupakan contoh–contoh menonjol tentang bagaimana aktivitas dan kinerja Polri sejak militer merupakan faktor dalam pelaksanaan tugas kepolisian. Jadi tidaklah mengherankan bila banyak pekerjaan polisi yang lebih diselesaikan “secara militer” daripada “secara polisi”.

III. PROSES TERJADINYA REFORMASI DI TUBUH POLRI 

10. Desakan agar Polri memisahkan diri dari ABRI sebenarnya sudah sejak lama diperbincangkan oleh para tokoh, masyarakat, praktisi hukum dan lain sebagainya, melalui berbagai seminar, lokakarya dan diskusi. Pakar Hukum Pidana Unair, Prof.Dr. JE Sahetapy, pada tahun 1993 telah mulai menyuarakan agar Polri keluar dari ABRI tanpa suatu pretensi ataupun motivasi apapun, apalagi yang bernafaskan politik. Pemikiran tersebut mengemuka dengan alasan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme Polri sebagai barisan terdepan dalam menjaga ketertiban masyarakat dari berbagai kejahatan. Dengan keluarnya Polri dari ABRI, fungsi utamanya bisa dijalankan dan bisa berperan sebagai pengayom masyarakat yang disegani dan dihormati, bukan ditakuti. Beberapa tokoh menyuarakan bahwa posisi Polri bisa berada di bawah Departemen Dalam Negeri atau Kehakiman, bahkan kalau perlu di bawah Presiden. Namun tidak sedikit juga di antara para tokoh yang menganggap bahwa polisi tidak perlu keluar dari ABRI untuk meningkatkan profesionalismenya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa pemisahan Polri dari ABRI tidak penting, yang lebih penting adalah bagaimana meningkatkan citra, idealisme, profesionalisme dan semangat pengabdian polisi.

11. Gelombang reformasi yang digerakkan oleh peristiwa Trisakti 12 Mei 1998 memang melanda segenap tata kehidupan kenegaraan, yang pada akhirnya berdampak pada tuntutan perlunya mereformasi Polri. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya menyangkut jatuhnya rezim Orde Baru yang memungkinkan terjadinya reformasi di segala bidang, termasuk terhadap Polri sebagai salah satu komponen penting bangsa Indonesia, dapat dilihat sebagai berikut ini :

a. Pemerintahan Orde Baru mulai dikritik secara tajam pada akhir tahun 1996 dan awal 1997. Trik–trik penyelenggaraan pemerintahan mulai disorot, yang kemudian diperkeruh lagi dengan adanya penemuan riset korupsi yang diekspose oleh Majalah Jerman “Der Spiegel” yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara terkorup ketiga di dunia dari 43 negara. Disorot juga adanya kebijakan politik yang mempertahankan “single majority” Golkar yang mengarah pada mendudukkan kembali Jenderal Tni (Purn.) Soeharto sebagai Presiden RI untuk ketujuh kalinya.

b. Pada saat bersamaan, muncul kerusuhan–kerusuhan dan demonstrasi yang terjadi di berbagai tempat. Pemerintah Orde Baru dan ABRI berusaha meredam kerusuhan yang ada dengan segala cara. Terjadilah beberapa peristiwa yang sangat menjadi perhatian publik, antara lain: peristiwa penculikan aktivis politik dan penyerangan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro yang memakan banyak korban.

c. Tindakan represif aparat dengan berbagai ancaman dan penculikan, justru semakin menyulut keberanian mengungkapkan pendapat yang mengecam kebrengsekan pemerintahan Orba dan para penyelenggara negara.

d. Kekuatan yang benar–benar menggoyahkan sendi–sendi kekuatan Orba adalah krisis moneter yang bergulir sejak Juni 1997, yang kemudian membangkitkan kritik, isu, dan pernyataan–pernyataan yang semakin menajam. Dunia universitas bangkit, yang menyebabkan mahasiswa secara spontan menanggapinya dengan menggelar aksi demonstrasi yang merupakan gerakan kampus. Selama bulan Januari sampai dengan awal Mei 1998 suasana politik makin panas. Walaupun demikian, Presiden Soeharto masih tetap mengendalikan negara.

e. Awal April 1998, gerakan mahasiswa sudah mulai menyuarakan agar Soeharto mundur dari kursi kepresidenan. Kata “reformasi” sudah mulai terbiasa digunakan, bahkan menggema sebagai perwujudan sikap yang menginginkan perubahan. Pihak mahasiswa menuntut perubahan secepatnya (reformasi total) sedangkan pemerintah dengan back up ABRI menyatakan bahwa mereka juga menginginkan perubahan namun harus bersifat gradual, karena perubahan total hanya akan melahirkan gejolak yang mengganggu stabilitas. Posisi yang berseberangan ini lalu makin mempertajam ketegangan. Tuntutan reformasi politik mahasiswa sendiri adalah pembaharuan politik dengan lima isu perubahan yaitu perubahan pemimpin, perubahan eksekutif, pemerintahan yang bersih, kebijakan publik yang tepat dan berkembangnya masyarakat sipil/madani.

f. Polisi berada pada masa yang sangat sulit, karena memihak yang manapun tidak menguntungkan. Polri seharusnya kembali pada hakekatnya sebagai polisi negara, bukan polisi pemerintah. Prof. Satjipto Rahardjo pernah menulis sebuah artikel agar Polri dan mahasiswa bersatu, artinya bila ada demonstrasi, maka polisi akan mengawalnya agar tidak terjadi gangguan. Kenyataannya polisi malah harus berhadapan dengan mahasiswa.

g. Tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan Habibie. Presiden Habibie kemudian mengupayakan reformasi dalam segala bidang, termasuk di antaranya reformasi dalam tubuh aparat penegak hukum.

h. Sidang Istimewa MPR 1998 dengan TAP MPR No. X / MPR / 1998 kemudian menugaskan kepada Presiden / Mandataris MPR untuk memisahkan Polri dari ABRI dengan rumusan :

“menginstruksikan kepada Presiden selaku Mandataris MPR antara lain untuk melaksanakan agenda reformasi di bidang hukum dalam bentuk pemisahan secara tegas, fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum agar dapat dicapai proporsionalitas, profesionalisme dan integritas yang utuh.”

i. Pada tanggal 17 Agustus 1998 untuk pertama kalinya Presiden BJ Habibie mencanangkan program kemandirian Polri, yaitu rencana untuk menjadikan Polri terlepas dari organisasi ABRI. Harapannya adalah Polri bisa lebih memenuhi fungsinya sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat tanpa diintervensi oleh berbagai kepentingan luar, termasuk dari pemerintah dan pimpinan ABRI.

j. Tekad politik pemerintah lalu ditindaklanjuti dengan peresmian kemandirian Polri pada 1 April 1999 melalui Inpres No. 2 tahun 1999 tentang Langkah–langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI, yang selanjutnya menjadi landasan formal bagi reformasi Polri. Berdasarkan Inpres tersebut, mulai 1 April 1999, sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional Polri dialihkan ke Dephankam, yang selanjutnya menjadi titik awal dimulainya proses reformasi Polri secara menyeluruh menuju Polri yang profesional dan mandiri serta sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. MPR dalam Sidang tahunannya Agustus 2000 kemudian menetapkan dua buah Tap MPR, yaitu TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang tentang Pemisahan TNI dan Polri serta TAP MPR NO. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.
12. Walaupun Polri telah mendapatkan kejelasan posisinya dalam ketatanegaraan Indonesia, yaitu langsung di bawah Presiden, namun dalam pelaksanaannya, upaya mewujudkan kemandirian Polri masih terkesan tersendat–sendat yang berakibat kemandirian dan profesionalisme Polri masih menampilkan sikap dan corak kemiliteran yang mengandung kesan reaktif-represif sehingga tidak menimbulkan kesan sebagai pengayom masyarakat yang berunjuk kerja proaktif-preventif. Polri sebagai aparat penegak hukum masih bekerja dengan hanya menerapkan sanksi hukum semata dalam sistem Law Enforcement bukannya dengan sistem Law Compliance yang dapat mewujudkan suatu kondisi masyarakat yang taat hukum. Akibatnya adalah Polri belum mampu mewujudkan tuntutan kebutuhan masyarakat dalam era reformasi, yaitu ditegakkannya iklim demokratisasi dan HAM melalui supremasi hukum dan kemampuan polisi yang responsif terhadap kepentingan masyarakat.


IV. UPAYA POLRI MENJAWAB TUNTUTAN MASYARAKAT DI ERA REFORMASI

13. Sejak dipisahkan dari militer, masyarakat ingin melihat terjadinya perubahan penting pada polisinya. Sekalipun hal itu merupakan hal yang lumrah dan wajar, tetapi tentu saja merupakan hal yang sangat susah untuk dipenuhi. Tiga puluh tahun berada dalam situasi militer dan di bawah komando militer adalah waktu yang sangat lama yang mampu membentuk pola perilaku dan tradisi tersendiri. Dalam konteks reformasi yang dilancarkan bangsa Indonesia dewasa ini, pertimbangan yang melatarbelakangi gagasan pemisahan Polri dari ABRI dan sering kali dikemukakan adalah pertimbangan praktis, yaitu intervensi ABRI dalam pelaksanaan tugas–tugas operasional Polri, seperti penyidikan perkara–perkara yang ada kaitannya dengan jaringan kekuasaan dan pengontrolan atas kegiatan–kegiatan politik.

14. Kasus demonstrasi oleh para ibu di Bundaran Hotel Indonesia di tahun 1997, yang antara lain memintakan perhatian terhadap naiknya harga susu bayi, adalah termasuk perbuatan ringan yang cukup diperingatkan saja. Tetapi karena Polri tunduk pada perintah militer yang waktu itu harus mengamankan Sidang Umum MPR 1997, maka Karlina Leksono harus diproses secara hukum dan ditahan polisi. Polisi tidak dapat menolak perintah dari atas, karena sebagai bagian dari ABRI, Polri harus menerima kenyataan bahwa perintah adalah perintah dan mutlak harus dijalankan.

15. Posisi Polri yang mandiri akan membuat dirinya terbebas dari penyalahgunaan peran, fungsi dan wewenangnya sebagai alat kekuasaan pemerintah. Hal ini akan mendorong ke arah tercapainya masyarakat madani yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Pengertian masyarakat madani dapat disampaikan sebagai berikut:
Masyarakat madani atau masyarakat sipil menurut Gellner (1995:32) adalah sebuah masyarakat dengan seperangkat pranata non pemerintah yang cukup kuat untuk menjadi penyeimbang dari kekuasaan negara dan pada saat yang sama, mendorong pemerintah untuk menjalankan peranannya sebagai penjaga perdamaian dan penengah di antara berbagai kepentingan utama dalam masyarakat, serta mempunyai kemampuan untuk menghalangi atau mencegah negara untuk mendominasi dan mengecilkan peranan masyarakat.

Masyarakat madani atau sipil yang modern dibangun berlandaskan demokrasi yang mencakup prinsip–prinsip kedaulatan rakyat, pemerintahan berdasarkan persetujuan dan yang diperintah oleh kekuasaan mayoritas, hak–hak minoritas, jaminan hak asasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur, persamaan hak di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional, kemajemukan sosial, ekonomi dan politik, nilai–nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat (Lubis, 1994).

16. Tim Pokja Reformasi Polri dalam buku Reformasi menuju Polri yang mandiri telah merumuskan Langkah–langkah yang perlu diambil Polri untuk mewujudkan jati diri dan profesionalisme Polri dalam perspektif reformasi melalui penyesuaian dan perubahan aspek struktural, aspek kultural, dan aspek instrumental, yaitu :

a. Perubahan aspek struktural mencakup perubahan kelembagaan (institusi) kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan. Dari segi kelembagaan, Polri harus bersifat otonom dan mandiri. Polri seyogyanya diperlakukan sebagai suatu lembaga khusus negara, yang secara administratif berkedudukan langsung di bawah Presiden, tetapi mandiri (independence) dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum.

b. Perubahan aspek instrumental mencakup filosofi (visi, misi dan tujuan), doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.

c. Perubahan aspek kultural sebagai muara dari perubahan aspek struktural dan aspek instrumental, karena semuanya harus terwujud dalam bentuk dan kualitas pelayanan aktual Polri terhadap masyarakat.

17. Perubahan–perubahan tersebut di atas hendaknya dilandaskan pada UUD 1945 amandemen kedua tahun 2000 dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terutama menyangkut tugas, tujuan dan fungsinya dengan tidak mengabaikan kandungan nilai Tribrata, doktrin Polri “Tata Tentrem Kerta Raharja”, dan Kode Etik Polri sebagai nilai ideal tentang Polri yang bersumber dari Pancasila, Tribrata dan Catur Prasetya.

Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 amandemen kedua tahun 2000 menyebutkan tentang tugas Polri sebagai berikut :

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.

Sedangkan dalam pasal 2 dan 4 UU NO. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dinyatakan tentang fungsi dan tujuan Polri sebagai berikut :

Pasal 2

Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 4

Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

18. Khusus masalah kemandirian Polri, dalam rangka memajukan profesionalisme kepolisian dan meningkatkan peranannya sebagai aparat penegak hukum yang diharapkan bebas dari intervensi politik, sebagai tujuan dari reformasi Polri, seyogyanya kita mempertimbangkan secara matang penempatan Polri dalam konstelasi ketatanegaraan RI.

19. Penempatan Polri di bawah Presiden dipandang lebih “aman”, tetapi menjadikannya sebagai suatu departemen atau lembaga pemerintah non departemen merupakan kebijakan yang keliru karena sebagai “instrument of policy”, pembentukan dan pembubarannya didasarkan atas hak prerogatifnya presiden.

20. Selanjutnya sebagai filter atas kemungkinan intervensi (kepentingan politik) pribadi Presiden, perumusan kebijakan kepolisian termasuk kontrol atas Polri seyogyanya dilakukan oleh suatu komisi yang terdiri atas menteri–menteri terkait, perwakilan anggota DPR dan tokoh sosial masyarakat. Dengan jalan demikian, mudah – mudahan di kemudian hari, kita akan memiliki Polri yang sejauh mungkin bebas dari pengaruh kepentingan politik penguasa, yang tidak saja berorientasi kepada negara, tetapi juga kepentingan masyarakat, dan yang mandiri (independen) dalam penegakan hukum serta profesional dalam pelaksanaan tugas–tugasnya, polisi yang disegani dan dicintai masyarakat.

21. Di negara–negara yang lebih demokratis dan sistem kehidupannya telah cukup mapan, intervensi negatif politik dalam tugas–tugas kepolisian hampir tidak menjadi problematik. Di sana, sistem kepolisiannya relatif sudah cukup mapan dan kualitas awaknya relatif cukup tinggi, sehingga bisa membedakan dengan tegas antara kemandirian (independensi) dengan loyalitas kepada pimpinan termasuk penguasa politik.

22. Di Indonesia, loyalitas kepada atasan merupakan prasyarat penilaian untuk promosi, tetapi biasanya diartikan secara sempit, yaitu dalam arti “membenarkan segala pemikiran dan perintah atasan walaupun salah, atau bertentangan dengan hukum dan peraturan."

23. Apa yang diperintahkan Presiden Gus Dur kepada Kapolri untuk melakukan penangkapan–penangkapan, menurut Guru Besar Sosiolog Universitas Indonesia, Prof.Dr. Sardjono Jatiman, SH tidak dapat dikatakan sebagai upaya mengintervensi Polri. Menurutnya, polisi bisa menolak apa yang diminta presiden. Soalnya, permintaan itu bukan merupakan perintah presiden, tetapi hanya pernyataan biasa dalam sebuah pidato dan tidak dituangkan dalam sebuah surat. Hal ini bisa dikatagorikan sebagai laporan yang biasa saja dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Menurutnya, hal ini terjadi karena kita sudah terbiasa dengan apa yang diucapkan presiden langsung dianggap sebagai perintah. Anggapan itu merupakan budaya lama di jaman Orde Baru. Tapi ini semua tergantung dari Kapolri, kalau ia menganggap bahwa hal tersebut merupakan suatu perintah, maka hal tersebut merupakan bentuk intervensi.

24. Setiap bangsa akan mengisi makna kemandirian secara berlainan sesuai dengan pengalaman sejarahnya. Misalnya Amerika yang mengatakan bahwa metode kepolisian yang melepaskan diri dari partisan politik. Untuk itu kepolisian tidak boleh tunduk pada otoritas dan tuntutan politik, melainkan harus menciptakan sendiri kriteria kepolisian yang sesungguhnya.

25. Dalam sebuah masyarakat yang otoriter maka fungsi kepolisian adalah melayani atasan atau penguasa untuk menjaga kemantapan kekuasaan otoriter pemerintah yang berkuasa. Sedangkan dalam masyarakat madani yang demokratis-modern dan bercorak majemuk, seperti Indonesia masa kini yang sedang mengalami reformasi menuju masyarakat madani yang demokratis, maka fungsi kepolisian juga harus sesuai dengan corak masyarakat dan kebudayaan Indonesia tersebut. Jika tidak, maka polisi tidak akan memperoleh tempat dalam masyarakat Indonesia sebagai pranata otonom yang dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat Indonesia.

26. Semua pihak harus mengerti dan menghormati kompetensi Polri. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kompetensi berarti kewenangan (kekuatan) untuk menentukan dan memutuskan sesuatu. Kompetensi Polri dapat dibagi menjadi dua bagian : kompetensi berdasarkan hukum dengan asas legalitas dan kompetensi berdasarkan pada asas kewajiban. Polri tidak perlu goyah lagi walaupun ada intervensi darimanapun baik pemerintah maupun pressure groups yang berusaha mempengaruhi kompetensi penegakan hukum tanpa berdasarkan hukum.

V. P E N U T U P 

27. Kompleknya permasalahan yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia dalam masa reformasi ini, ditambah lagi dengan kemunculan berbagai partai politik dengan perjuangan untuk menguasai politik negara di satu pihak dengan perjuangan politik negara di lain pihak, serta munculnya berbagai kerusuhan antar suku bangsa dan konflik ideologi, menghadapkan polisi pada situasi yang menuntut kemampuan profesional untuk dapat mengatasi dan meredamnya secara tepat dan bijaksana.

28. Untuk itu, berbagai pedoman bertindak yang diwarisi dari jaman pemerintahan orde baru di mana polisi menjadi bagian dari doktrin ABRI atau militer sudah harus ditinggalkan diganti dengan pedoman perpolisian yang sesuai dengan fungsi polisi yang baru, yaitu sebagai kekuatan sipil yang diberi kewenangan untuk menjadi pengayom masyarakat dan penegak hukum.

29. Keberhasilan reformasi Polri bukan hanya ditentukan oleh Polri, tetapi juga oleh peran serta masyarakat terutama elit politik dengan cara memberikan kesempatan kepada Polri untuk melaksanakan tugasnya secara independen tanpa intervensi pengaruh politik.

30. Dengan demikian dapat diwujudkan jati diri Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lebih profesional, mahir, terampil, bersih dan berwibawa sehingga Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak semata – mata mampu melaksanakan tugas dengan sebaik – baiknya dalam era refromasi ini, tetapi sekaligus mampu membuktikan keberadaannya sebagai institusi nasional yang dicintai masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam. Hormatilah Kompetensi Polri. Jurnal Police Watch 1 (Juli 2000) : 9

Djatiman, Sardjono. Permintaan Presiden Dapat Ditolak Polri. Jurnal Police Watch 1 (Juli 2000) : 8

Indonesia, Undang–Undang Dasar 1945 setelah Amandemen kedua tahun 2000.

Indnesia, Undang–Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Indonesia, TAP MPR NO. VI dan VII / MPR / 2000.

Kelana, Momo. Hukum Kepolisian. Cet. 5. Jakarta: PTIK – Grasindo, 1994.

Kunarto. Polri Mandiri, Merenungi Kritik Terhadap Polri. Jakarta: Cipta Manunggal 1999.

Kunarto. Perilaku Organisasi Polri. Jakarta: Cipta Manunggal 1997.

Mabes Polri, Tim Pokja. Reformasi Menuju Polri yang Profesional. 1999.

Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sejarah Kepolisian di Indonesia. Jakarta: Markas Besar Republik Indonesia,1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar