Selasa, 27 September 2011

Do'a Agar Diberi Tempat yang Layak Setelah Meninggal

"Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar, dan keluarkanlah pula aku secara keluar yang benar. Dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan (pemimpin) yang menolong." (Al-Isra': 80).
Penjelasan:
Doa di atas dibaca bukan hanya dikhususkan ketika kita akan pergi. Tetapi dalam berbagai keadaan yang sering kali berubah sangat dianjurkan untuk dibacanya seperti akan melaksanakan pemilihan umum untuk memilih pemimpin. Doa di atas dibaca agar kita mendapatkan pemimpin yang jujur dan bijaksana. Baik juga doa di atas dibaca ketika kita akan meninggalkan tempat yang kita tinggali (dunia), memohon agar ditempatkan pada tempat yang layak setelah meninggal. Demikian Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya. (kabarislam.com)

Satu Faedah Shalat Sunnah di Rumah, Bagai Terangnya Cahaya

Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Inilah yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika kita menelaah jauh ke sisi rumah beliau, tidak pernah lepas dari ibadah dan dzikir. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar rumah kita memang dijadikan seperti itu. Lihatlah apa yang beliau wasiatkan kepada kita dalam sabdanya,
اجْعَلُوا فِى بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلاَتِكُمْ ، وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
Jadikanlah shalat kalian di rumah kalian. Janganlah jadikan rumah kalian seperti kuburan.[1]
Al Bukhari membawakan hadits di atas pada Bab “التَّطَوُّعِ فِى الْبَيْتِ”, shalat sunnah di rumah.
Ibnu Baththol rahimahullah dalam Syarh Al Bukhari menyatakan, “Ini adalah permisalan yang amat bagus di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan rumah yang tidak didirikan shalat di dalamnya dengan kuburan yang tidak mungkin mayit melakukan ibadah di sana. Begitu pula beliau memisalkan orang yang tidur semalaman (tanpa shalat tahajud) dengan mayit yang kebaikan telah terputus darinya. ‘Umar bin Al Khottob pernah mengatakan,
صلاة المرء فى بيته نُورٌ فَنَوِّرُوا بيوتكم
“Shalat seseorang di rumahnya adalah cahaya, maka hiasilah rumah kalian dengannya.”[2]
Dalam hadits lain, dari Zaid bin Tsabit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ
Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat wajib.[3]
Diceritakan dari beberapa salaf bahwa mereka tidak pernah melaksanakan shalat sunnah di masjid. Diriwayatkan demikian dari Hudzaifah, As Saib bin Yazid, An Nakhoi, Ar Robi’ bin Khutsaim, ‘Ubaidah dan Sawid bin Ghoflah.[4]
Ada keterangan dari Ibnul Qayyim rahimahullah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan hampir seluruh shalat sunnahnya –yaitu shalat sunnah yang tidak memiliki sebab[5]- di rumahnya, lebih-lebih shalat sunnah maghrib. Tidak dinukil sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau beliau melaksanakan shalat sunnah tersebut di masjid.”[6]
Faedah Melaksanakan Shalat Sunnah di Rumah
Di antara faedah seseorang melaksanakan shalat sunnah di rumah adalah:
  1. Mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Mengajarkan istri (karena shalat wanita yang terbaik adalah di rumahnya) dan anak-anak bagaimanakah shalat yang benar.
  3. Setan menjauh dari rumah yang di dalamnya rajin didirikan shalat dan dzikir.
  4. Lebih ikhlas dan terjauh dari riya’.[7]
Catatan: Jika memang harus melaksanakan shalat sunnah di masjid semacam shalat sunnah rawatib, maka tidak mengapa melakukannya di sana, apalagi jika shalat sunnah mesti dilakukan di masjid semacam shalat sunnah tahiyatul masjid atau mungkin takut telat dalam shalat karena sebab mengerjakan shalat sunnah qobliyah di rumah.
Semoga yang singkat ini bermanfaat dan jadi ilmu yang bisa diamalkan. Semoga rumah kita bisa bercahaya dengan shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah lainnya.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

(rumaysho.com)
Prepared in Riyadh, KSA, on 16th Muharram 1432 H (22/12/2010)
By: Muhammad Abduh Tuasikal

Kamis, 22 September 2011

Antara Halal & Haram Ada Syubhat



Dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وإنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ ، وبَينَهُما أُمُورٌ مُشتَبهاتٌ ، لا يَعْلَمُهنّ كثيرٌ مِن النَّاسِ ، فَمَن اتَّقى الشُّبهاتِ استبرأ لِدينِهِ وعِرضِه ، ومَنْ وَقَعَ في الشُّبُهاتِ وَقَعَ في الحَرَامِ ، كالرَّاعي يَرعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أنْ يَرتَعَ فيهِ ، ألا وإنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى ، ألا وإنَّ حِمَى اللهِ محارِمُهُ ، ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضغَةً إذا صلَحَتْ صلَحَ الجَسَدُ كلُّه ، وإذَا فَسَدَت فسَدَ الجَسَدُ كلُّه ، ألا وهِيَ القَلبُ
“Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat), yang tidak diketahui oleh banyak manusia. Barangsiapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan (binatang ternaknya) di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir dia akan masuk menggembalakan (binatang ternaknya) di daerah tersebut. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki daerah terlarang. Ketahuilah bahwa daerah terlarang milik Allah adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah, bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka akan menjadi baik seluruh tubuh, dan jika buruk menjadi buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa itu adalah hati.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas adalah salah satu hadits yang menjadi pondasi dasar agama Islam. Imam Ahmad rahimahullah pernah mengatakan, “Pondasi dasar agama Islam ada pada tiga hadits: hadits Umar (Sesungguhnya semua amalan dengan niat), hadits Aisyah (barangsiapa membuat-buat hal baru dalam urusan kami yang bukan termasuk padanya, pasti tertolak) dan hadits Nu’man bin Basyir, (Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas).”

Halal, Haram dan Syubhat

Keagungan hadits ini akan nampak jelas ketika kita mengetahui kandungan hadits ini. Cobalah kita renungkan sejenak. Sebagai hamba Allah, kita dituntut untuk berlaku, berbuat dan beraktivitas sesuai dengan aturan-aturan Allah. Ini adalah sesuatu hal yang wajar dan maklum. Nah, ternyata hadits yang mulia ini telah menjelaskan secara lengkap hukum dari segala sesuatu yang kita hadapi. Yang mana dengan mengetahui hukum-hukum itu kita bisa bertindak sesuai dengan aturan Allah. Tanpa mengetahuinya, kita akan bingung dan tentu saja tidak akan bisa bertindak sesuai dengan aturan Allah.
Hadits di atas menjelaskan secara garis besar bahwa segala perkara yang kita hadapi tidak bisa lepas dari salah satu tiga keadaan.
Pertama, sesuatu yang jelas kehalalannya dan diketahui oleh setiap orang. Seperti halalnya buah-buahan, biji-bijian, jual beli yang jelas, pakaian-pakaian yang tidak menyelisihi syariat, dan lain-lain banyak sekali tanpa bisa dibatasi.
Kedua, sesuatu yang jelas keharamannya dan diketahui oleh setiap orang. Seperti haramnya riba, perjudian, zina, pencurian, minuman khamr, bangkai, darah, daging babi, dan lain sebagainya.
Ketiga, perkara-perkara yang samar, tidak diketahui oleh banyak orang apakah ia termasuk perkara yang halal atau perkara yang haram, meskipun orang lain mengetahui bahwa ia termasuk halal atau haram. Contohnya, seperti makanan, minuman atau hal lain yang diperselisihkan kehalalan atau keharamannya oleh para ulama. Golongan ketiga inilah yang akan sedikit kita bicarakan di sini.

Maksud dan Penyebab Kesamaran (Syubhat)

Sesungguhnya apa yang Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggalkan untuk umat ini berupa perkara yang halal ataupun yang haram telah dijelaskan. Hanya saja penjelasan dari hal itu berbeda-beda tingkat kejelasannya. Sebagian dari perkara-perkara itu ada yang sangat gamblang penjelasannya, jelas dan mudah dipahami oleh seluruh manusia sehingga jelaslah perkara itu apakah termasuk yang halal atau yang haram. Namun sebagian yang lain lebih rendah tingkat kejelasannya sehingga menimbulkan kesamaran bagi sebagian orang, terutama yang tidak memiliki modal ilmu untuk memahami penjelasan tersebut.
Disamping itu, banyak sekali perkara-perkara yang jika dilihat dari satu sisi memiliki kedekatan dengan perkara yang haram tapi dari sisi lain memiliki kedekatan dengan perkara yang dihalalkan. Sehingga jadilah keraguan untuk menetapkan apakah perkara ini termasuk perkara yang halal atau haram.
Secara umum, kesamaran hukum suatu perkara itu bisa ditimbulkan karena kesamaran yang terjadi pada salah satu dari dua sebab atau karena keduanya. Pertama karena kesamaran dalil yang menunjukkan keharaman atau kehalalan. Baik karena kesamaran dalam keabsahan dalil, atau karena kesamaran pada ketegasan dalil dalam menunjukkan keharaman atau kehalalan perkara yang dimaksud. Dan sebab kedua adalah kesamaran dalam hal kecocokan atau ketepatan perkara yang akan dihukumi dengan dalil yang menunjukkan keharaman atau kehalalan.
Dari sinilah timbul berbagai kesamaran hukum pada banyak perkara, apakah ia merupakan hal yang halal atau hal yang haram. Kesamaran seperti inilah yang dimaksud dengan syubhat antara halal dan haram yang disebutkan dalam hadits di atas. Karena pada hakikatnya, semua perkara itu hanya ada dua hukum saja yaitu halal atau haram.
Dan penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa perkara-perkara yang samar (syubhat) tidak diketahui oleh banyak manusia, menunjukkan bahwa ada banyak manusia lain yang mengetahui hakikat perkara ini apakah termasuk halal ataukah haram. Sehingga, perkara syubhat itu bersifat relatif, yakni samar bagi sebagian orang namun tidak bagi yang lain. Atau samar bagi sebagian orang dalam jangka waktu tertentu sampai akhirnya perkara itu menjadi jelas karena adanya keterangan-keterangan yang menunjukkan pada hukum yang sebenarnya.

Bagaimana menyikapi?

Sesuatu yang telah jelas kehalalannya atau keharamannya, maka jelas pula bagi kita bagaimana menyikapinya. Karena yang halal tentu saja boleh kita lakukan sedangkan yang haram harus kita tinggalkan. Oleh karena itu, ketika syubhat itu bersifat relatif, sebagaimana dijelaskan di atas, maka bagi orang yang telah mengetahui hakikat suatu perkara apakah termasuk yang halal atau haram, meskipun perkara itu bagi orang lain termasuk syubhat, dia harus menyikapinya sesuai dengan hukum yang dia ketahui. Jika haram maka dia tinggalkan namun jika halal berarti dia boleh mengambilnya.
Adapun bagi orang yang memiliki kesamaran hukum pada suatu perkara tertentu, maka hadits di atas telah memberikan bimbingan dan pengarahan yang jelas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka siapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya.”
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu merupakan pengarahan bagi siapa saja yang menghadapi perkara syubhat, untuk meninggalkannya dan tidak menjerumuskan diri kepadanya. Karena perkara syubhat ini jelas meragukan. Sedangkan dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukan.” (Riwayat at-Tirmidzi dan dia berkata, hadits hasan shahih)
Dan alasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengarahkan kita untuk menjauhi syubhat nampak pada perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya.”
Yakni, dengan kita menjauhi syubhat, berarti kita telah berusaha menjaga diri kita dari perkara yang haram. Sehingga kita berarti telah membersihkan diri dalam agama, dalam hubungan kita dengan Allah. Dan dengannya kita pun akan terbebas dari pembicaraan manusia akan kehormatan kita. Karena jika kita melakukan perkara yang syubhat, banyak orang akan mengatakan fulan melakukan ini dan itu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan, “Dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan (binatang ternaknya) di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir dia akan masuk menggembalakan (binatang ternaknya) di daerah tersebut.”
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dijelaskan oleh para ulama dengan dua kemungkinan makna.
Pertama, orang yang masuk ke dalam syubhat, berarti dia telah melakukan perkara yang haram. Karena dengan terjerumusnya dia ke dalam syubhat berarti dia telah melakukan suatu hal yang tidak didasari dengan ilmu. Dan perbuatan ini jelas diharamkan oleh Allah. Padahal adanya syubhat padanya menunjukkan bahwa dia tidak memiliki ilmu yang pasti tentangnya.
Makna kedua, masuknya seseorang ke dalam syubhat adalah jalan kepada perkara yang haram. Yakni, ketika dia bermudah-mudah dalam perkara syubhat, dikhawatirkan dia akan terjerumus ke dalam perkara yang haram dan meremehkannya. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan, sangat dikhawatirkan ternaknya akan masuk ke daerah larangan tersebut.
Apapun kemungkinan maknanya, yang jelas di sini adalah petunjuk bagi kita untuk meninggalkan segala perkara yang syubhat, yang meragukan, sehingga kita benar-benar mengetahui hukumnya secara yakin. Dan Allah lah satu-satunya Dzat yang memberikan taufiq.

Setetes Faedah dari Lautan Faedah Surat Al Fatihah


Alhamdulillah wassalamu ‘ala Rosulullah. Surat Al Fatihah adalah surat yang paling sering dibaca oleh kaum muslimin, minimal dalam sehari 17 kali sebanyak rekaat sholat wajibnya. Namun kiranya hanya sedikit dari kaum muslimin yang menetahui ma’na sekaligus faedah-faedah didalamnya. Bahkan sebagian orang membuat bid’ah atasnya yaitu dengan membacanya sebelum khutbah, di akhir do’a,dan pada acara-acara tertentu yang mana pemimpinnya mengatakan “Al Faatihah…”maksudnya bacalah al Fatihah, serta amalan menyimpang lainnya.
Pada kesempatan ini, lewat artikel yang ringkas ini kita akan berusaha mengupas diantara faedah dari Surat Al-Fatihah. Artikel ini merujuk pada Tafsir Surat Al-Fatihah oleh Syaikh Al Alamah Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin-rahimahullah- dari kitab beliau Tafsir Juz Amma.
Al Qur’an adalah tali-Nya yang kuat dan jalan-Nya yang lurus. Allah berfirman dalam QS Al Ma’idah 15-16 :
قَدْ جَاءكُم مِّنَ اللّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُّبِينٌ. يَهْدِي بِهِ اللّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلاَمِ
“..Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan . Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan..”
Kitab yang menjelaskan segala sesuatu sebagaimana FirmaNya :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An Nahl 89)
Allah menurunkan Al Qur’an dan memerintakan kita berkaitan dengannya beberapa perkara :
1. Beribadah dengan membacanya.
2. Mentadaburi ma’na-ma’nanya.
3. Menjadikannya sebagai nasehat
Adalah hal yang tidak mungkin bagi seseorang untuk mengambil pelajaran dari al Qur’an kecuali dengan mengatahui maknanya. Untuk itu seyogyanya kita berusaha mengetahui arti serta makna yang terkandung didalam al Qur’an dengan ilmu dan penuh keyakinan. Jangan samapai kita hanya membacanya namun tidak mengetahui arti serta maknanya sehingga dalam memahaminya hanya sekedar perkiraan atau persangkaan semata. Allah berfirman :
وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لاَ يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ
“Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga .”(Al Baqoroh 78)
Tentang surat Al Fatihah :
Surat ini disebut dengan surat Al Fatihah karena al Qur’an dimulai dengannya . Ada juga yang mengatakan karena ia surat yang pertama kali diturunkan secara sempurna. Surat ini mengandung sebagian besar makna al Qur’an dalam masalah aqidah, tauhid, hukum, penjelasan balasan amalan, jalan yang ditempuh manusia dan masalah yang lainya untuk itu surat ini disebut dengan Ummul Qur’an.
Ayat yang pertama*:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Al Fatihah 1)
Faedah dari ayat ini :
1. Tabaruk (mengharapkan berkah) dengan mendahulukan penyebutan nama Allah.
Sehingga sebagaimana yang kita ketahui banyak diantara do’a-do’a yang diajarkan rosulullah mengandung/ didahului lafadz basmalah sebagaimana do’an sebelum makan, sebelum wudhu, saat masuk maupun keluar rumah, saat menyembelih dan pada beberapa hal lainya. Rosulullah berkata pada seorang anak kecil saat hendak makan: “wahai anak sebutlah nama Allah makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari yang terdekat darimu..”
2. Berfaedah pembatasan, yaitu membatasi hanya dengan nama Allahlah kita melakukan suatu perkerjaan. Misalkan saat makan dengan sebelumnya membaca bismillah hal ini seolah-olah anda mengatkan “Saya tidak makan dengan nama seorang pun yang saya harapkan berkah dan pertolongannya kecuali nama Allah”
Ayat yang kedua:
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Al Fatihah 2)
Firman Allah “الْحَمْدُ” adalah sifat bagi yang dipuji dengan kesempurnaan disertai rasa cinta dan pengagungan. Kesempurnaan pada zat, sifat, dan perbuatan.
Faedah dari ayat ini :
1. Penetapan adanya pujian yang sempurna bagi Allah.
2. Allah berhak secara khusus pujian dari segala sisi. Oleh karena itu saat mendapat sesuatu yang menyenangkan Rosulullah berdo’a :
Alhamdulillahilladzii bini’matihi tatimmush shalihaat.
“Segala puji bagi Allah, dengan nikmatnya sempurna kebaikan-kebaikan.. “
Sedang saat mendapat musibah atau sesuatu yang tidak disenangi berdo’a :
Alhamdulillah ‘ala kulli hal..
“ Segala puji bagi Allah atas segala sesuatu..”
Ayat yang ketiga:
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
“ Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al Fatihah 3)
Ar Rahman maksudnya memiliki rahmat yang luas. Sedang Ar Rahim bermakna memiliki rahmat yang sampai.
Faedah dari ayat ini :
1. Penetapan dua nama yang mulia yaitu arrahman dan Ar Rohim bagi Allah serta menetapkan kandugannya berupa rahman berupa sifat serta perbuatanNya.
2. Rububiyah Allah dibangun rahmat yang luas. Sehingga kita dapatkan dalam hukum-hukumnya berbagai kemudahan yang diberikan pada manusia.
Ayat yang keempat:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang menguasai di Hari Pembalasan “ (Al Fatihah 3)
Lafadz ini adalah sifat dari اللهِ , ada dua cara membacanya yaitu مَلِكِ bermakna raja dan مَالِكِ bermakna pemilik. Kedua maknanya adalah benar.
Faedah dari ayat ini :
1. Penetapan kerajaan bagi Allah di akhirat. Bukan berarti saat di dunia tidak demikian,kerajaan Allah meliputi dunia dan akhirat. Namun sebagaimana yang kita ketahui di dunia ini sebagian manusia lalai dari mengakui kerajaan-Nya namun tidak demikian di akhirat nanti semua mengakui hanya milikNya kerajaan serta kekuasaan.
2. Hendaknya manusia beramal untuk mempersiapkan diri sebagai bekal di akhirat.
Ayat yang kelima:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. “ (Al Fatihah 4)
Maksudnya kami tidak memohon petolongan untuk melakukan ibadah dan selainya kecuali hanya kepada Allah
Faedah dari ayat ini :
1. Mengikhaskan ibadah hanya pada Allah diambil dari lafadz ” إِيَّاكَ نَعْبُدُ”
2. Mengikhalskan permohonan pertolongan hanya kepada Allah “وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ”. isti’anah ada dua yaitu tafwidz dan musyarokah. Isti’anah tafwidz ialah bersandar kepada Allah dan berlepas diri dari kemampuan serta kekuatan selainNya. Adapun isti’ana musyarokah maknanya bersama-sama dalam hal yang ingin engkau kerjakan. Untuk jenis yang kedua ini maka tidak maengapa kita minta pertolongan pada selain Allah yang kita lihat mampu melakukannya sebagaimana Firman Allah :
..وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى ..
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa..”(Al Maidah 2)
Ayat yang kelima:
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
“ Tunjukilah kami jalan yang lurus.”(Al Fatihah 5)
Yang dimaksud shirat adalah jalan, sedang yang dimaksud hidayah disini adalah irsyad (petunjuk) maupun taufiq. Jadi dengan ucapan ini kita memohon kepada Allah hidayah berupa irsyad dan taufiq yang makannya kita memohon ilmu yang bermanfaat dan amal shalih dengan taufiqNya.
Faedah dari ayat ini :
1. Perlunya berlindung kepada Allah setelah beribadah. Ayat sebelumnya berkaitan tentang ibadah sedang ayat ini memberi tuntunan agar kita memohon hidayahnya agar tetap dijalan yang lurus saat beribadah.
2. Jalan itu terbagi menjadi dua jalan yang lurus dan bengkok. Hendaknya kita senantiasa hati agar tetap diatas jalan yang lurus dan terhidar dari jalan yang bengkok.
Ayat yang ketujuh:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Al Fatihah 7)
Lafadz ini adalah athof bayan (penjelas)dari ayat sebelumnya yang menjelaskan lebih rinci hakekat dari jalan yang lurus yang kita minta. Yang dimaksud dengan dengan orang-orang yang diberi nikmat disebutkan oleh Allah dalam firmanNya:
وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَـئِكَ رَفِيقاً
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin , orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. “(An Nisa’ 69)
Sedang yang dimaksud “المَغضُوبِ” adalah orang yahudi dan siapa saja yang mengetahui kebenaran namun tidak melaksankan atau bahkan mengingkarinya. Sedang yang dimaksud ” الضَّالِّين” adalah orang nashoro dan siapa saja yang mengerjakan selain kebenaran karena dia tidak mengetahuinya. Dia beramal tanpa ilmu. Adapun seorang muslim adalah orang yang berilmu dan beramal diatas ilmunya. Tidaklah dia beramal kecuali setelah memiliki ilmu atasnya dan tidaklah dia berilmu kecuali ia senantiasa berusaha untuk mengamalkannya.
Faedah dari ayat ini :
1. Penyebutan yang rinci setelah global, dan ini adalah metode yang mulia dimana jiwa-jiwa jika dating sesuatu yang global ia akan menunggu rincian serta penjelasannya.
2. Penyandaran nikmat hanya kepada Allah.
3. Terbaginya manusia menjadi 3 golongan
4. Didahulukan golongan yang parah terlebih dahulu yaitu orang yang dimurkai (yahudi)karena mereka yang paling besar penyelisihanya dibanding orang-orang yang sesat. Orang yang menyelisihi dalam keadaan mengetahui lebih sulit untuk bertaubat/menerima kebenaran dibanding orang yang menyelisihi dalam keadaan tidak mengetahui.
Sebenarnya begitu luas makna dan faedah yang terkandung dalam surat al Fatihah namun karena keterbatasan ilmu yang kami miliki tak mungkin bagi kami menyampaikan semuanya. Semoga yang sedikit ini dapat member manfaat dan menambah kekhusukan kita dalam membaca surat ini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad.
Sumber : As-sunnah Sukoharjo

Keutamaan Membaca Surat Yaasin


Diantara hadits yang menyebutkan keutamaan pembacaan surat yasin ini disebutkan didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad dari Ma’qal bin Yasar dari Nabis aw bersabda,”Bacalah kepada (orang yang menjelang) kematiannya surat yasiin.”
Al ‘Alamah Abu ath Thayib Abadiy mengatakan bahwa hal itu adalah terhadap orang yang menjelang kematiannya. Barangkali dengan membacakannya maka hal itu akan memudahkannya saat menghadapi sakaratul maut karena didalam surat itu disebutkan nama Allah swt, keadaan hari kiama dan hari kebangkitan.
Imam ar Rozi mengatakan didalam “At Tafsirul Kabir” bahwa perintah membacakan surat yasin terhadap orang yang dekat dengan kematiannya ini juga berdasarkan sabdanya saw,”Segala sesuatu memiliki jantung dan jantung al Qur’an itu adalah yasin.”
Hal itu dikarenakan keadaan lidah pada saat itu sangatlah lemah berbeda dengan hati secara keseluruhannya mampu menghadap Allah. Oleh karena itu dibacakanlah kepadanya sesuatu yang dapat menambah kekuatan hatinya dan menyandarkan kejujurannya dengan yang pokok, yaitu amal dan fungsinya. (Aunul Ma’bud juz VIII hal 279)
Ibnu Katsir meyebutkan didalam tafsirnya bahwa sebagian ulama mengatakan,”Diantara kekhususan surat ini adalah tidaklah seseorang membaca surat ini dalam keadaan sulit kecuali Allah akan memberikan kemudahan kepadanya. Dan sepertihalnya ketika surat ini dibacakan terhadap orang yang menjelang kematiannya maka akan turun kepadanya rahmat dan keberkahan dan untuk memberikan kemudahan keluarnya ruh dari jasadnya.”
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah bercerita kepada kami Abdul Mughirah,”Telah bercerita kepada kami Shafwan berkata bahwa para syeikh telah mengatakan,”Apabila dibacakan—surat yasin—terhadap orang yang menjelang kematian maka akan diringankan bebannya. (Tafsir al Qur’anil Azhim juz VI hal 562)
Hadits-hadits lain tentang keutamaan surat yasin seperti sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang membaca yasin maka Allah akan tuliskan pembacaannya itu sama dengan membaca al qur’an sepuluh kali selain yasin.” Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib yaitu diriwayatkan hanya oleh satu orang saja.
Sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang membaca yasin pada suatu malam dengan mengharapkan wajah Allah maka dia akan diampuni.” (HR. Malik, Ibnus Sunni dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban) dan hadits dinyatakan lemah oleh Imam al Haitsami.
Tentang keutamaan membaca yasin ini telah diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Siapa yang membaca surat yasin pada suatu malam maka pada pagi harinya ia dalam keadaan diampuni. Siapa yang membaca hamiim yang didalamnya disebutkan ad dukhan maka pada pagi harinya ia dalam keadaan diampuni.” Ibnul Jauzi pun menyatakan bahwa seluruh jalan hadits ini adalah batil yang tidak memiliki dasar. (al Maudhu’at juz I hal 247)
Didalam hadits-hadits yang menyatakan pembacaan yasiin pada suatu malam—meskipun sebagiannya lemah atau bahkan maudhu’—disebutkan secara mutlak atau tidak ada pengkhususan pembacaannya pada malam-malam tertentu, seperti malam jum’at atau malam lainnya.
Hal itu sejalan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairoh dari Nabi saw bersabda,”Janganlah kamu mengkhususkan malam jum’at dengan suatu qiyam (shalat malam) diantara malam-malam lainnya. Janganlah kamu mengkhususkan hari jum’at dengan puasa tertentu diantara hari-hari lainnya kecuali apabila hari itu bertepatan dengan puasa salah seorang diantaramu.” (HR. Muslim)