Kamis, 22 September 2011

Antara Halal & Haram Ada Syubhat



Dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وإنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ ، وبَينَهُما أُمُورٌ مُشتَبهاتٌ ، لا يَعْلَمُهنّ كثيرٌ مِن النَّاسِ ، فَمَن اتَّقى الشُّبهاتِ استبرأ لِدينِهِ وعِرضِه ، ومَنْ وَقَعَ في الشُّبُهاتِ وَقَعَ في الحَرَامِ ، كالرَّاعي يَرعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أنْ يَرتَعَ فيهِ ، ألا وإنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى ، ألا وإنَّ حِمَى اللهِ محارِمُهُ ، ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضغَةً إذا صلَحَتْ صلَحَ الجَسَدُ كلُّه ، وإذَا فَسَدَت فسَدَ الجَسَدُ كلُّه ، ألا وهِيَ القَلبُ
“Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat), yang tidak diketahui oleh banyak manusia. Barangsiapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan (binatang ternaknya) di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir dia akan masuk menggembalakan (binatang ternaknya) di daerah tersebut. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki daerah terlarang. Ketahuilah bahwa daerah terlarang milik Allah adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah, bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka akan menjadi baik seluruh tubuh, dan jika buruk menjadi buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa itu adalah hati.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas adalah salah satu hadits yang menjadi pondasi dasar agama Islam. Imam Ahmad rahimahullah pernah mengatakan, “Pondasi dasar agama Islam ada pada tiga hadits: hadits Umar (Sesungguhnya semua amalan dengan niat), hadits Aisyah (barangsiapa membuat-buat hal baru dalam urusan kami yang bukan termasuk padanya, pasti tertolak) dan hadits Nu’man bin Basyir, (Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas).”

Halal, Haram dan Syubhat

Keagungan hadits ini akan nampak jelas ketika kita mengetahui kandungan hadits ini. Cobalah kita renungkan sejenak. Sebagai hamba Allah, kita dituntut untuk berlaku, berbuat dan beraktivitas sesuai dengan aturan-aturan Allah. Ini adalah sesuatu hal yang wajar dan maklum. Nah, ternyata hadits yang mulia ini telah menjelaskan secara lengkap hukum dari segala sesuatu yang kita hadapi. Yang mana dengan mengetahui hukum-hukum itu kita bisa bertindak sesuai dengan aturan Allah. Tanpa mengetahuinya, kita akan bingung dan tentu saja tidak akan bisa bertindak sesuai dengan aturan Allah.
Hadits di atas menjelaskan secara garis besar bahwa segala perkara yang kita hadapi tidak bisa lepas dari salah satu tiga keadaan.
Pertama, sesuatu yang jelas kehalalannya dan diketahui oleh setiap orang. Seperti halalnya buah-buahan, biji-bijian, jual beli yang jelas, pakaian-pakaian yang tidak menyelisihi syariat, dan lain-lain banyak sekali tanpa bisa dibatasi.
Kedua, sesuatu yang jelas keharamannya dan diketahui oleh setiap orang. Seperti haramnya riba, perjudian, zina, pencurian, minuman khamr, bangkai, darah, daging babi, dan lain sebagainya.
Ketiga, perkara-perkara yang samar, tidak diketahui oleh banyak orang apakah ia termasuk perkara yang halal atau perkara yang haram, meskipun orang lain mengetahui bahwa ia termasuk halal atau haram. Contohnya, seperti makanan, minuman atau hal lain yang diperselisihkan kehalalan atau keharamannya oleh para ulama. Golongan ketiga inilah yang akan sedikit kita bicarakan di sini.

Maksud dan Penyebab Kesamaran (Syubhat)

Sesungguhnya apa yang Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggalkan untuk umat ini berupa perkara yang halal ataupun yang haram telah dijelaskan. Hanya saja penjelasan dari hal itu berbeda-beda tingkat kejelasannya. Sebagian dari perkara-perkara itu ada yang sangat gamblang penjelasannya, jelas dan mudah dipahami oleh seluruh manusia sehingga jelaslah perkara itu apakah termasuk yang halal atau yang haram. Namun sebagian yang lain lebih rendah tingkat kejelasannya sehingga menimbulkan kesamaran bagi sebagian orang, terutama yang tidak memiliki modal ilmu untuk memahami penjelasan tersebut.
Disamping itu, banyak sekali perkara-perkara yang jika dilihat dari satu sisi memiliki kedekatan dengan perkara yang haram tapi dari sisi lain memiliki kedekatan dengan perkara yang dihalalkan. Sehingga jadilah keraguan untuk menetapkan apakah perkara ini termasuk perkara yang halal atau haram.
Secara umum, kesamaran hukum suatu perkara itu bisa ditimbulkan karena kesamaran yang terjadi pada salah satu dari dua sebab atau karena keduanya. Pertama karena kesamaran dalil yang menunjukkan keharaman atau kehalalan. Baik karena kesamaran dalam keabsahan dalil, atau karena kesamaran pada ketegasan dalil dalam menunjukkan keharaman atau kehalalan perkara yang dimaksud. Dan sebab kedua adalah kesamaran dalam hal kecocokan atau ketepatan perkara yang akan dihukumi dengan dalil yang menunjukkan keharaman atau kehalalan.
Dari sinilah timbul berbagai kesamaran hukum pada banyak perkara, apakah ia merupakan hal yang halal atau hal yang haram. Kesamaran seperti inilah yang dimaksud dengan syubhat antara halal dan haram yang disebutkan dalam hadits di atas. Karena pada hakikatnya, semua perkara itu hanya ada dua hukum saja yaitu halal atau haram.
Dan penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa perkara-perkara yang samar (syubhat) tidak diketahui oleh banyak manusia, menunjukkan bahwa ada banyak manusia lain yang mengetahui hakikat perkara ini apakah termasuk halal ataukah haram. Sehingga, perkara syubhat itu bersifat relatif, yakni samar bagi sebagian orang namun tidak bagi yang lain. Atau samar bagi sebagian orang dalam jangka waktu tertentu sampai akhirnya perkara itu menjadi jelas karena adanya keterangan-keterangan yang menunjukkan pada hukum yang sebenarnya.

Bagaimana menyikapi?

Sesuatu yang telah jelas kehalalannya atau keharamannya, maka jelas pula bagi kita bagaimana menyikapinya. Karena yang halal tentu saja boleh kita lakukan sedangkan yang haram harus kita tinggalkan. Oleh karena itu, ketika syubhat itu bersifat relatif, sebagaimana dijelaskan di atas, maka bagi orang yang telah mengetahui hakikat suatu perkara apakah termasuk yang halal atau haram, meskipun perkara itu bagi orang lain termasuk syubhat, dia harus menyikapinya sesuai dengan hukum yang dia ketahui. Jika haram maka dia tinggalkan namun jika halal berarti dia boleh mengambilnya.
Adapun bagi orang yang memiliki kesamaran hukum pada suatu perkara tertentu, maka hadits di atas telah memberikan bimbingan dan pengarahan yang jelas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka siapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya.”
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu merupakan pengarahan bagi siapa saja yang menghadapi perkara syubhat, untuk meninggalkannya dan tidak menjerumuskan diri kepadanya. Karena perkara syubhat ini jelas meragukan. Sedangkan dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukan.” (Riwayat at-Tirmidzi dan dia berkata, hadits hasan shahih)
Dan alasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengarahkan kita untuk menjauhi syubhat nampak pada perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya.”
Yakni, dengan kita menjauhi syubhat, berarti kita telah berusaha menjaga diri kita dari perkara yang haram. Sehingga kita berarti telah membersihkan diri dalam agama, dalam hubungan kita dengan Allah. Dan dengannya kita pun akan terbebas dari pembicaraan manusia akan kehormatan kita. Karena jika kita melakukan perkara yang syubhat, banyak orang akan mengatakan fulan melakukan ini dan itu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan, “Dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan (binatang ternaknya) di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir dia akan masuk menggembalakan (binatang ternaknya) di daerah tersebut.”
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dijelaskan oleh para ulama dengan dua kemungkinan makna.
Pertama, orang yang masuk ke dalam syubhat, berarti dia telah melakukan perkara yang haram. Karena dengan terjerumusnya dia ke dalam syubhat berarti dia telah melakukan suatu hal yang tidak didasari dengan ilmu. Dan perbuatan ini jelas diharamkan oleh Allah. Padahal adanya syubhat padanya menunjukkan bahwa dia tidak memiliki ilmu yang pasti tentangnya.
Makna kedua, masuknya seseorang ke dalam syubhat adalah jalan kepada perkara yang haram. Yakni, ketika dia bermudah-mudah dalam perkara syubhat, dikhawatirkan dia akan terjerumus ke dalam perkara yang haram dan meremehkannya. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan, sangat dikhawatirkan ternaknya akan masuk ke daerah larangan tersebut.
Apapun kemungkinan maknanya, yang jelas di sini adalah petunjuk bagi kita untuk meninggalkan segala perkara yang syubhat, yang meragukan, sehingga kita benar-benar mengetahui hukumnya secara yakin. Dan Allah lah satu-satunya Dzat yang memberikan taufiq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar