Jumat, 02 November 2012

Lebah Ciptaan Allah


Perhatikanlah lebah serta pelajaran dan tanda-tanda kekuasaan Allah yang tampak padanya. Coba lihat kesungguhannya memproduksi madu dan sarangnya yang berbentuk persegi enam. Sarang yang paling sempurna bentuknya, paling simetris dan paling kokoh. Jika dipadukan satu sama lainnya niscaya tidak akan ditemukan celah ataupun lobang. Semua itu dibuat tanpa alat ukur dan tanpa jangka. Semua itu merupakan ciptaan Allah melalui ilham dan wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada lebah. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah berikut ini:
“Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.” kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan.” (An Nahl: 68-69)
Coba perhatikan ketaatan lebah yang sangat sempurna dan kepatuhannya dalam melaksanakan perintah Allah dengan baik. Lebah-lebah itu membuat sarang-sarang mereka di tiga tempat tersebut, yakni gunung, di pepohonan dan di tempat-tempat yang dibangun oleh manusia, yakni rumah-rumah manusia. Tidak akan ditemukan sarang lebah kecuali di tiga tempat tersebut. Coba perhatikan juga lebah-lebah itu paling banyak membuat sarang di gunung, itulah tempat yang pertama disebutkan dalam ayat. Kemudian di pepohonan yang juga termasuk tempat yang paling sering dijadikan tempat bagi lebah untuk membuat sarang. Kemudian rumah-rumah manusia yang sangat jarang dijadikan sarang oleh lebah.



Sarang-sarang lebah di gunung ukurannya besar-besar, dari situ dapat diambil madu dalam jumlah yang banyak. Coba perhatikan ketaatan lebah yang membawanya untuk membuat sarang terlebih dahulu. Setelah sarang selesai, mereka keluar darinya untuk mencari makan berupa buah-buahan kemudian kembali ke sarangnya. Sebab Allah memerintahkannya supaya membuat sarang terlebih dahulu, kemudian mencari makan setelah itu. Setelah makan ia diperintahkan agar menempuh jalan yang telah dibentangkan oleh Allah untuknya, tidak ada satupun yang membuatnya sulit, ia makan lalu kembali ke sarang.


Salah satu keajaiban lebah adalah, lebah-lebah itu dipimpin oleh seorang pemimpin. Lebah-lebah itu taat dan patuh kepada pemimpinnya. Dan pemimpin lebah itu mengeluarkan perintah dan larangan. Lebah-lebah yang lain adalah rakyatnya yang senantiasa patuh kepada perintahnya dan mengikuti pendapatnya. Ia mengatur urusan rakyatnya sebagaimana layaknya seorang raja mengurus rakyatnya. Hingga apabila ia kembali ke sarangnya, ia akan berhenti di pintu sarang dan tidak akan membiarkan lebah-lebah lain saling berdesak-desakan. Tidak ada seekor lebahpun yang mendahuluinya untuk melintas. Lebah-lebah itu masuk kedalam sarangnya secara teratur, satu demi satu tanpa berdesak-desakan. Sebagaimana yang dilakukan oleh seorang pemimpin pasukan yang ingin melintasi jembatan yang sempit, ia akan mempersilakan pasukannya menyeberang satu demi satu.

Barangsiapa mempelajari keadaan lebah, siasatnya, petunjuknya, persatuannya, kerapian organisasinya, manajemen pemerintahannya, tiap-tiap lebah menjalankan fungsi dan tugas masing-masing, ia pasti takjub dan pasti mengakui bahwa semua itu bukanlah atas kuasa lebah semata dan bukan pula merupakan tabiat alami lebah. Sesungguhnya pekerjaan yang sangat rapi dan kokoh itu jika engkau perhatikan dilakukan oleh makhluk Allah yang paling lemah dan paling jahil tentang dirinya dan keadaannya, serta makhluk yang paling lemah untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Apabila diserahkan untuk menangani perkara-perkara menakjubkan seperti di atas.

Dan salah satu keajaiban lebah adalah tidak akan ditemui dalam satu sarang dua pemimpin, tiap-tiap pemimpin memiliki sarang dan pengikut masing-masing. Bahkan bila bertemu dua pemimpin dengan pasukan masing-masing maka mereka akan membunuh salah satu pemimpin dan bersepakat mengangkat yang satunya lagi sebagai pemimpin tanpa ada permusuhan di antara dua pasukan tersebut dan tanpa saling menyakiti satu sama lainnya.

Salah satu keajaiban lebah yang tidak banyak diketahui oleh manusia adalah cara perkembangbiakannya. Apakah dengan melahirkan ataukah dengan cara metaformosis? Sedikit sekali orang yang mengetahui hal ini. Cara perkembangbiakannya bukanlah suatu perkara yang terlalu menakjubkan. Apabila lebah-lebah itu pergi ke padang gembalaannya maka ia akan menyerap saripati yang terdapat pada dedaunan, bunga, rerumputan dan lainnya, dalam bentuk cairan yang dapat dihisapnya. Itulah bahan pembuat madu. Kemudian ia menyentuh bagian-bagian yang ada di atas dedaunan lalu diikatnya pada kakinya seperti biji kacang adas. Lalu ia meletakkannya pada sarangnya yang berbentuk persegi enam itu yang masih kosong dan belum berisi madu. Kemudian datanglah lebah jantan membangun sarangnya di mulai dari benih itu. Lebah jantan itu membuahi benih itu lalu mengelilingi sarang itu bagian demi bagian. Ia terus membuahinya hingga terciptalah kehidupan dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sarang itu bergerak dan keluarlah lebah-lebah muda dengan izin Allah.

Itulah salah satu dari sekian banyak tanda-tanda kebesaran Allah dan keajaiban alam yang sangat sedikit diperhatikan oleh umat manusia. Semua itu merupakan wahyu ilahi yang diturunkan kepada lebah hingga dapat mengatur, bepergian, mengurus dupan, membangun dan berkembang biak.

Tanyalah kepada kaum mulhid siapakah yang telah mewahyukan kepada lebah-lebah itu dan menciptakan tabiat seperti itu padanya? Siapakah yang membentangkan jalan yang tidak sulit dilalui dan tidak tersesat meski jarak yang ditempuh oleh lebah-lebah itu sangat jauh? Siapakah yang menunjuki mereka kepada semua urusan tersebut? Siapakah yang menurunkan sari pati bunga sehingga apabila telah matang berubah menjadi madu yang murni dan beragam warnanya? Madu yang sangat manis, lezat dan banyak sekali khasiatnya? Ada madu yang berwarna jernih mengkilap sehingga bayangan wajah yang dapat terlihat padanya lebih tajam daripada bayangan pada cermin. Sebutkan padaku siapakah yang menciptakan semua itu? Bahkan konon katanya madu tersebut merupakan madu yang paling hebat, paling jernih dan paling bagus yang pernah ditemukan. Rasa madu itu lebih lezat daripada manisan. Ada pula madu yang berwarna merah, ada yang berwarna hijau, ada yang berwarna merah muda, ada yang berwarna hita, ada yang berwarna merah kekuning-kuningan, dan warna-warna lainnya dengan cita rasa yang berbeda-beda menurut tempat bersarangnya dan saripati bunga yang dihisapnya.

Perhatikanlah kegunaan dan khasiatnya sebagai penyembuh serta keistimewaannya yang dapat dicampurkan dengan kebanyakan obat-obatan lainnya. Salah satu khasiatnya adalah madu ini sangat ampuh dan sangat baik menyaring kotoran-kotoran dan dapat menetralisir dan menghilangkan mudharatnya. Madu dapat menguatkan lambung, dapat menyegarkan badan dan perasaan, memanjurkan obat dan membantu prosesnya dalam mengeluarkan penyakit dari tubuh.

Allah telah menahan kesembuhan yang dihasilkan oleh madu dari banyak orang. Sampai-sampai sejumlah oran mencela dan mengkhawatirkan efek sampingnya disebabkan panas yang ditimbulkannya dan ketajaman rasanya. Tentu saja sudah tidak diragukan lagi bahwa madu adalah obat penawar seperti halnya Al-Qur’an, dzikrullah, menghadap kepada-Nya, inabah kepada-Nya dan mengerjakan ibadah shalat. Berapa banyak orang-orang yang sembuh dari sakitnya. Dan berapa banyak orang-orang sakit yang terbebas dari penyakit, betapa sering madu digunakan sebagai pengganti obat-obatan lainnya?

Namun demikian madu tidaklah selalu cocok dengan seluruh jenis orang. Madu tidak akan menambah kesembuhan bagi jiwa yang buruk kecuali bertambah buruk. Tidak akan menambah bagi orang-orang zhalim selain kerugian belaka. Madu adalah obat, baik penyakit itu sembuh maupun tidak sembuh. Allah telah menyebutkan dua macam penyembuhan dalam kitabNya, yakni dengan madu dan Al-Qur’an. Suatu kali aku pernah menderita berbagai macam penyakit di Makkah. Sementara tidak ada tabib disana dan tidak ada obat-obatan sebagaimana dikota-kota lainnya. Kala itu saya melakukan pengobatan dengan minum madu dan air zamzam. Sungguh aku lihat sangat ajaib kesembuhan itu datang. Coba perhatikan firman Allah tentang Al-Qur’an bahwa Al-Qur’an itu adalah obat penawar. Dan coba perhatikan juga firman Allah tentang madu:
“Didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (An-Nahl: 69)
Sesuatu yang dengan sendirinya merupakan obat yang menyembuhkan tentu lebih mujarab daripada yang dijadikan sebagai obat yang menyembuhkan bagi manusia.

Source : Keajaiban-keajaiban Makhluk Dalam Pandangan Al-Imam Ibnul Qayyim(Gharaa-ib wa 'Ajaa-ib Al-Makhluqaat Min Manzhuuri Fikri Al-Imam Ibnul Qayyim) , hal. 182-187, penerbit Darul Haq-Jakarta, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari Al-Maidani



Semut dan keistimewaannya



Semut adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang dikaruniakan Tuhan beberapa kelebihan dan kecerdasan. Ketika kita  mercermati apa yang dilakukan semut, maka kita akan tahu kelebihan dan keistimewaan yang Tuhan berikan kepada hewan yang sangat kecil ini dan itu bisa kita jadikan pelajaran dalam hidup kita.

Inilah beberapa kelebihan dan keistimewaan dari Semut :
1.     Ketika mencari makanan, mereka keluar bersama –sama dari liangnya. Dan apabila mendapatkan makanan, mereka  pun akan membawa makanan tersebut  keliangnya untuk dimakan bersama-sama.
2.     Mereka akan berbaris rapi dan berjalan tanpa bertabrakan satu dengan yang lainnya.
3.     Bila menemukan makanan, maka teman yang lain akan segera membantunya.
4.     Bila menemukan makanan yang bersamaan, maka mereka saling bergotong royong dan membawa pulang makanannya.
5.     Apa bila makanannya terkena air dan dikhawatirkan akan rusak, maka mereka akan membawanya keluar dan menjemurnya dibawah matahari dan membawanya kembali setelah kering. Oleh karena itulah terkadang kita mendapatkan tumpukan potongan biji-bijian di sekitar liang semut, namun dalam waktu yang tidak begitu lama segera  hilang tanpa sisa.

Itulah salah satu karya Ciptaan Tuhan yang begitu unik, meskipun semut begitu kecil dan kita tidak tahu seberapa besar ukuran jantungnya, tetapi kita bisa belajar dari semut..




Mengapa Semut Berhenti Sejenak Jika Bertemu Dengan Semut Lainnya?


Mengapa Semut Berhenti Sejenak Jika Bertemu Dengan Semut Lainnya?


Mengapa semut akan berhenti sejenak jika bertemu/berpapasan dengan semut lainnya? Semut yang terlihat “mengadu kepala” saat bertemu itu sebenarnya sedang berkomunikasi. T.C. Schneirla, seorang peneliti di New York University, pernah mengadakan percobaan dengan semut. Ia mengambil seekor semut lalu ditaruh dalam tempat yang berisi makanan. Semut lain ditaruh dalam tempat yang berisi semut-semut musuh. Kemudian kelakuan kedua semut ini diamati terutama ketika berpapasan dengan teman-temannya di jalan.

Dari penelitian itu, Schneirla menyimpulkan bahwa zat kimia yang dikeluarkan dari makanan ataupun dari musuh semut menempel pada semut itu. Ketika bertemu dengan semut temannya, semut ini akan saling menyapa (bersentuhan). Nah, dengan saling menyapa inilah zat kimia dari semut akan memberi tahu temannya (melalui antena di kepala semut) apakah di lingkungan sekitarnya ada makanan atau ada musuh.

Silaturahmi memiliki sekian banyak manfaat yang sangat besar, di antaranya sebagai berikut:

1. Dengan bersilaturahmi, berarti kita telah menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.
2. Dengan bersilaturahmi akan menumbuhkan sikap saling tolong-menolong dan mengetahui keadaan karib kerabat.
3. Dengan bersilaturahmi, Allah akan meluaskan rezeki dan memanjangkan umur kita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bersabda:

مَنْ أَ حَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ .
 "Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi."

 4. Dengan bersilaturahmi, kita dapat menyampaikan dakwah, menyampaikan ilmu, menyuruh berbuat baik, dan mencegah berbagai kemungkaran yang mungkin akan terus berlangsunng apabila kita tidak mencegahnya.
5. Silaturahmi sebagai sebab seseorang masuk surga.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,” maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ.
 "Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi."



Sumber : Kata Motivasi

Kamis, 01 November 2012

Segala puji bagi Allah Ta’ala atas segala macam nikmat yang telah diberikan-Nya. Dan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga, para sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Segala puji bagi Allah, pada saat ini Allah telah menganugerahkan kita suatu karunia dengan menurunkan hujan melalui kumpulan awan. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ (68) أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ (69)
Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?” (QS. Al Waqi’ah [56] : 68-69)
Begitu juga firman Allah Ta’ala,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14)
Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah.” (QS. An Naba’ [78] : 14)
Allah Ta’ala juga berfirman,
فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ
Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya.” (QS. An Nur [24] : 43) yaitu dari celah-celah awan.[1]
Merupakan tanda kekuasaan Allah Ta’ala, kesendirian-Nya dalam menguasai dan mengatur alam semesta, Allah menurunkan hujan pada tanah yang tandus yang tidak tumbuh tanaman sehingga pada tanah tersebut tumbuhlah tanaman yang indah untuk dipandang. Allah Ta’ala telah mengatakan yang demikian dalam firman-Nya,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الأرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat [41] : 39). Itulah hujan, yang Allah turunkan untuk menghidupkan tanah yang mati. Sebagaimana pembaca dapat melihat pada daerah yang kering dan jarang sekali dijumpai air seperti Gunung Kidul, tatkala hujan itu turun, datanglah keberkahan dengan mekarnya kembali berbagai tanaman dan pohon jati kembali hidup setelah sebelumnya kering tanpa daun. Sungguh ini adalah suatu kenikmatan yang amat besar.
Sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat hujan yang telah diberikan ini, sebaiknya kita mengilmui beberapa hal seputar musim hujan. Untuk tulisan pertama, kami akan menjelaskan amalan-amalan yang semestinya dilakukan seorang muslim ketika hujan turun. Setelah itu, kita akan memperjari fenomena kilatan petir dan geledek. Dan terakhir kita akan mengkaji bersama mengenai beberapa keringanan di musim penghujan. Semoga bermanfaat.
:: Beberapa Amalan Ketika Turun Hujan ::

[1] Keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Tatkala Mendung
Ketika muncul mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khawatir, jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى نَاشِئاً فِي أُفُقٍ مِنْ آفَاِق السَمَاءِ، تَرَكَ عَمَلَهُ- وَإِنْ كَانَ فِي صَلَاةٍ- ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ؛ فَإِنْ كَشَفَهُ اللهُ حَمِدَ اللهَ، وَإِنْ مَطَرَتْ قَالَ: "اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً"
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat awan (yang belum berkumpul sempurna, pen) di salah satu ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya –meskipun dalam shalat- kemudian beliau kembali melakukannya lagi (jika hujan sudah selesai, pen). Ketika awan tadi telah hilang, beliau memuji Allah. Namun, jika turun hujan, beliau mengucapkan, “Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah jadikanlah hujan ini sebagi hujan yang bermanfaat].”[2]
’Aisyah radhiyallahu ’anha berkata,
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا رَأَى مَخِيلَةً فِى السَّمَاءِ أَقْبَلَ وَأَدْبَرَ وَدَخَلَ وَخَرَجَ وَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ ، فَإِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ سُرِّىَ عَنْهُ ، فَعَرَّفَتْهُ عَائِشَةُ ذَلِكَ ، فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « مَا أَدْرِى لَعَلَّهُ كَمَا قَالَ قَوْمٌ ( فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ ) »
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam apabila melihat mendung di langit, beliau beranjak ke depan, ke belakang atau beralih masuk atau keluar, dan berubahlah raut wajah beliau. Apabila hujan turun, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam mulai menenangkan hatinya. ’Aisyah sudah memaklumi jika beliau melakukan seperti itu. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallammengatakan, ”Aku tidak mengetahui apa ini, seakan-akan inilah yang terjadi (pada Kaum ’Aad) sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), ”Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka.” (QS. Al Ahqaf [46] : 24)”[3]
Ibnu Hajar mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan bahwa seharusnya seseorang menjadi kusut pikirannya jika ia mengingat-ingat apa yang terjadi pada umat di masa silam dan ini merupakan peringatan agar ia selalu merasa takut akan adzab sebagaimana ditimpakan kepada mereka yaitu umat-umat sebelumnya.”[4]
[2] Mensyukuri Nikmat Turunnya Hujan
Apabila Allah memberi nikmat hujan, dianjurkan bagi seorang muslim dalam rangka bersyukur kepada-Nya untuk membaca do’a,
اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً
Allahumma shoyyiban naafi’aa [Ya Allah, turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].
Itulah yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ucapkan ketika melihat turunnya hujan. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً »
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”.[5]
Ibnu Baththol mengatakan, ”Hadits ini berisi anjuran untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.”
Al Khottobi mengatakan, ”Air hujan yang mengalir adalah suatu karunia.”[6]
[3] Turunnya Hujan, Kesempatan Terbaik untuk Memanjatkan Do’a
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni[7] mengatakan, ”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.”[8]
Begitu juga terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَ تَحْتَ المَطَرِ
Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.[9]
[4] Ketika Terjadi Hujan Lebat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah meminta diturunkan hujan. Kemudian ketika hujan turun begitu lebatnya, beliau memohon pada Allah agar cuaca kembali menjadi cerah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,
اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
“Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari [Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].”[10]
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Ketika hujan semakin lebat, para sahabat meminta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam supaya berdo’a agar cuaca kembali menjadi cerah. Akhirnya beliau membaca do’a di atas.”[11]
Syaikh Sholih As Sadlan mengatakan bahwa do’a di atas dibaca ketika hujan semakin lebat atau khawatir hujan akan membawa dampak bahaya.[12]
[5] Mengambil Berkah dari Air Hujan
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى
Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.”[13]
An Nawawi menjelaskan, “Makna hadits ini adalah hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.”[14]
An Nawawi selanjutnya mengatakan, ”Dalam hadits ini terdapat dalil bagi ulama Syafi’iyyah tentang dianjurkannya menyingkap sebagian badan (selain aurat) pada awal turunnya hujan, agar terguyur air hujan tersebut. Dan mereka juga berdalil dari hadits ini bahwa seseorang yang tidak memiliki keutamaan, apabila melihat orang yang lebih berilmu melakukan sesuatu yang ia tidak ketahui, hendaknya ia menanyakannya untuk diajari lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya pada yang lain.”[15]
Dalam hal mencari berkah dengan air hujan dicontohkan pula oleh sahabat Ibnu ‘Abbas. Beliau berkata,
أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ، يَقُوْلُ: "يَا جَارِيَّةُ ! أَخْرِجِي سَرْجِي، أَخْرِجِي ثِيَابِي، وَيَقُوْلُ: وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكاً [ق: 9].
”Apabila turun hujan, beliau mengatakan, ”Wahai jariyah keluarkanlah pelanaku, juga bajuku”.” Lalu beliau membacakan (ayat) [yang artinya], ”Dan Kami menurunkan dari langit air yang penuh barokah (banyak manfaatnya).” (QS. Qaaf [50] : 9)” [16]
[6] Dianjurkan Berwudhu dengan Air Hujan
Ibnu Qudamah mengatakan, ”Dianjurkan untuk berwudhu dengan air hujan apabila airnya mengalir deras.”[17]
Dari Yazid bin Al Hadi, apabila air yang deras mengalir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
اُخْرُجُوا بِنَا إلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللَّهُ طَهُورًا ، فَنَتَطَهَّرَمِنْهُ وَنَحْمَدَ اللّهَ عَلَيْهِ
Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci.” Kemudian kami bersuci dengan air tersebut dan memuji Allah atas nikmat ini.”[18]
Namun, hadits di atas adalah hadits yang lemah karena munqothi’ (terputus sanadnya) sebagaimana dikatakan oleh Al Baihaqi[19].
Ada hadits yang serupa dengan hadits di atas dan shahih,
كَانَ يَقُوْلُ إِذَا سَالَ الوَادِي " أُخْرُجُوْا بِنَا إِلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللهُ طَهُوْرًا فَنَتَطَهَّرُ بِهِ "
“Apabila air mengalir di lembah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.”[20]
[7] Janganlah Mencela Hujan
Sungguh sangat disayangkan sekali, setiap orang sudah mengetahui bahwa hujan merupakan nikmat dari Allah Ta’ala. Namun, ketika hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, timbullah kata-kata celaan, “Aduh!! hujan lagi, hujan lagi”.
Perlu diketahui bahwa setiap yang seseorang ucapkan, baik yang bernilai dosa atau tidak bernilai dosa dan pahala, semua akan masuk dalam catatan malaikat. Allah Ta’ala berfirman,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50] : 18)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً ، يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ
Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu. Dan ada juga seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dipikirkan bahayanya lalu dia dilemparkan ke dalam jahannam.[21]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menasehatkan kita agar jangan selalu menjadikan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa sebagai kambing hitam jika kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti beliau melarang kita mencela waktu dan angin karena kedua makhluk tersebut tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ ، بِيَدِى الأَمْرُ ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.[22]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ تَسُبُّوا الرِّيحَ
Janganlah kamu mencaci maki angin.”[23]
Dari dalil di atas terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu) dan angin adalah sesuatu yang terlarang. Begitu pula halnya dengan mencaci maki makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti mencaci maki angin dan hujan adalah terlarang.
Larangan ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari kejelekan yang terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk. Ini sama saja dengan menyatakan ada pencipta selain Allah. Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai sebab saja, maka seperti ini hukumnya haram, tidak sampai derajat syirik. Dan apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan, “Hari ini hujan deras, sehingga kita tidak bisa berangkat ke masjid untuk shalat”, tanpa ada tujuan mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa.[24]
Intinya, mencela hujan tidak terlepas dari hal yang terlarang karena itu sama saja orang yang mencela hujan mencela Pencipta hujan yaitu Allah Ta’ala. Ini juga menunjukkan ketidaksabaran pada diri orang yang mencela. Sudah seharusnya lisan ini selalu dijaga. Jangan sampai kita mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat Allah murka. Semestinya yang dilakukan ketika turun hujan adalah banyak bersyukur kepada-Nya sebagaimana telah diterangkan dalam point-point sebelumnya.
[8] Berdo’a Setelah Turunnya Hujan
Dari Zaid bin Kholid Al Juhani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat shubuh bersama kami di Hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan, ”Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?” Kemudian mereka mengatakan,”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ »
“Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ’Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah)maka dialah yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.”[25]
Dari hadits ini terdapat dalil untuk mengucapkan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah) setelah turun hujan sebagai tanda syukur atas nikmat hujan yang diberikan.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, ”Tidak boleh bagi seseorang menyandarkan turunnya hujan karena sebab bintang-bintang. Hal ini bisa termasuk kufur akbar yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam jika ia meyakini bahwa bintang tersebut adalah yang menciptakan hujan. Namun kalau menganggap bintang tersebut hanya sebagai sebab, maka seperti ini termasuk kufur ashgor (kufur yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam). Ingatlah bahwa bintang tidak memberikan pengaruh terjadinya hujan. Bintang hanya sekedar waktu semata.”[26]
Demikian beberapa amalan yang bisa diamalkan ketikan hujan turun.
Semoga Allah memudahkan posting selanjutnya mengenai fenomena kilatan petir dan geledek.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com


[1] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 24/262, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[2] Lihat Adabul Mufrod no. 686, dihasankan oleh Syaikh Al Albani
[3] HR. Bukhari no. 3206
[4] Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al ’Asqolani Asy Syafi’i, 6/301, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H
[5] HR. Bukhari no. 1032, Ahmad no. 24190, dan An Nasai no. 1523.
[6] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 5/18, Asy Syamilah.
[7] Al Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hambal Asy Syaibani, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 2/294, Darul Fikr, Beirut, cetakan pertama, 1405 H.
[8] Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shohihul Jaami’ no. 1026.
[9] HR. Al Hakim dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shohihul Jaami’ no. 3078.
[10] HR. Bukhari no. 1014.
[11] Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/439, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, tahun 1407 H.
[12] Lihat Dzikru wa Tadzkir, Sholih As Sadlan, hal. 28, Asy Syamilah.
[13] HR. Muslim no. 898.
[14] Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 6/195, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392 H.
[15] Syarh Muslim, 6/196.
[16] Lihat Adabul Mufrod no. 1228. Syaikh Al Albani mengatakan sanad hadits ini shohih dan hadits ini mauquf [perkataan sahabat].
[17] Al Mughni, 2/295.
[18] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro (3/359) dan Tuhfatul Muhtaj (1/567). Dikeluarkan pula oleh An Nawawi dalam Al Khulashoh (2/884) dan Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (1/216) [dinukil dari http://dorar.net ]. Lihat pula Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 1/439. Hadits ini adalah hadits yang lemah karena munqothi’ yaitu ada sanad yang terputus.
[19] Syaikh Al Albani dalam Dho’if Al Jaami’ no. 4416 mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
[20] HR. Muslim, Abu Daud, Al Baihaqi, dan Ahmad. Lihat Irwa’ul Gholil no. 679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih.
[21] HR. Bukhari no. 6478.
[22] HR. Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246, dari Abu Hurairah.
[23] HR. Tirmidzi no. 2252, dari Abu Ka’ab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[24] Faedah dari guru kami Ustadz Abu Isa hafizhohullah. Lihat buah pena beliau “Mutiara Faedah Kitab Tauhid”, hal. 227-231, Pustaka Muslim, cetakan pertama, Jumadal Ula 1428 H.
[25] HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71, dari Kholid Al Juhaniy.
[26] Kutub wa Rosa’il Lil ‘Utsaimin, 170/20, Asy Syamilah.


Sumber : Rumaysho.com

Rabu, 31 Oktober 2012

Wanita Bagian dari penghuni Surga


Penulis: Ummu Rumman Siti Fatimah
Muraja’ah: ustadz Abu Salman
Dari Atha bin Abi Rabah, ia berkata, Ibnu Abbas berkata padaku,
“Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?”
Aku menjawab, “Ya”
Ia berkata, “Wanita hitam itulah yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Aku menderita penyakit ayan (epilepsi) dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku agar Allah Menyembuhkannya.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Jika engkau mau, engkau bersabar dan bagimu surga, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah Menyembuhkanmu.’
Wanita itu menjawab, ‘Aku pilih bersabar.’ Lalu ia melanjutkan perkataannya, ‘Tatkala penyakit ayan menimpaku, auratku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.’
Maka Nabi pun mendoakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Betapa rindunya hati ini kepada surga-Nya yang begitu indah. Yang luasnya seluas langit dan bumi. Betapa besarnya harapan ini untuk menjadi salah satu penghuni surga-Nya. Dan subhanallah! Ada seorang wanita yang berhasil meraih kedudukan mulia tersebut. Bahkan ia dipersaksikan sebagai salah seorang penghuni surga di kala nafasnya masih dihembuskan. Sedangkan jantungnya masih berdetak. Kakinya pun masih menapak di permukaan bumi.
Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas kepada muridnya, Atha bin Abi Rabah, “Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya”
Ibnu Abbas berkata, “Wanita hitam itulah….dst”
Wahai saudariku, tidakkah engkau iri dengan kedudukan mulia yang berhasil diraih wanita itu? Dan tidakkah engkau ingin tahu, apakah gerangan amal yang mengantarkannya menjadi seorang wanita penghuni surga?
Apakah karena ia adalah wanita yang cantik jelita dan berparas elok? Ataukah karena ia wanita yang berkulit putih bak batu pualam?
Tidak. Bahkan Ibnu Abbas menyebutnya sebagai wanita yang berkulit hitam.
Wanita hitam itu, yang mungkin tidak ada harganya dalam pandangan masyarakat. Akan tetapi ia memiliki kedudukan mulia menurut pandangan Allah dan Rasul-nya. Inilah bukti bahwa kecantikan fisik bukanlah tolak ukur kemuliaan seorang wanita. Kecuali kecantikan fisik yang digunakan dalam koridor yang syar’i. Yaitu yang hanya diperlihatkan kepada suaminya dan orang-orang yang halal baginya.
Kecantikan iman yang terpancar dari hatinyalah yang mengantarkan seorang wanita ke kedudukan yang mulia. Dengan ketaqwaannya, keimanannya, keindahan akhlaqnya, amalan-amalan shalihnya, seorang wanita yang buruk rupa di mata manusia pun akan menjelma menjadi secantik bidadari surga.
Bagaimanakah dengan wanita zaman sekarang yang sibuk memakai kosmetik ini-itu demi mendapatkan kulit yang putih tetapi enggan memutihkan hatinya? Mereka begitu khawatir akan segala hal yang bisa merusak kecantikkannya, tetapi tak khawatir bila iman dan hatinya yang bersih ternoda oleh noda-noda hitam kemaksiatan – semoga Allah Memberi mereka petunjuk -.
Kecantikan fisik bukanlah segalanya. Betapa banyak kecantikan fisik yang justru mengantarkan pemiliknya pada kemudahan dalam bermaksiat. Maka saudariku, seperti apapun rupamu, seperti apapun fisikmu, janganlah engkau merasa rendah diri. Syukurilah sebagai nikmat Allah yang sangat berharga. Cantikkanlah imanmu. Cantikkanlah hati dan akhlakmu.
Wahai saudariku, wanita hitam itu menderita penyakit ayan sehingga ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau agar berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya. Seorang muslim boleh berusaha demi kesembuhan dari penyakit yang dideritanya. Asalkan cara yang dilakukannya tidak melanggar syariat. Salah satunya adalah dengan doa. Baik doa yang dipanjatkan sendiri, maupun meminta didoakan orang shalih yang masih hidup. Dan dalam hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammemiliki keistimewaan berupa doa-doanya yang dikabulkan oleh Allah.
Wanita itu berkata, “Aku menderita penyakit ayan dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku agar Allah Menyembuhkannya.”
Saudariku, penyakit ayan bukanlah penyakit yang ringan. Terlebih penyakit itu diderita oleh seorang wanita. Betapa besar rasa malu yang sering ditanggung para penderita penyakit ayan karena banyak anggota masyarakat yang masih menganggap penyakit ini sebagai penyakit yang menjijikkan.
Tapi, lihatlah perkataannya. Apakah engkau lihat satu kata saja yang menunjukkan bahwa ia benci terhadap takdir yang menimpanya? Apakah ia mengeluhkan betapa menderitanya ia? Betapa malunya ia karena menderita penyakit ayan? Tidak, bukan itu yang ia keluhkan. Justru ia mengeluhkan auratnya yang tersingkap saat penyakitnya kambuh.
Subhanallah. Ia adalah seorang wanita yang sangat khawatir bila auratnya tersingkap. Ia tahu betul akan kewajiban seorang wanita menutup auratnya dan ia berusaha melaksanakannya meski dalam keadaan sakit. Inilah salah satu ciri wanita shalihah, calon penghuni surga. Yaitu mempunyai sifat malu dan senantiasa berusaha menjaga kehormatannya dengan menutup auratnya. Bagaimana dengan wanita zaman sekarang yang di saat sehat pun dengan rela hati membuka auratnya???
Saudariku, dalam hadits di atas terdapat pula dalil atas keutamaan sabar. Dan kesabaran merupakan salah satu sebab seseorang masuk ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika engkau mau, engkau bersabar dan bagimu surga, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah Menyembuhkanmu.” Wanita itu menjawab, “Aku pilih bersabar.”
Wanita itu lebih memilih bersabar walaupun harus menderita penyakit ayan agar bisa menjadi penghuni surga. Salah satu ciri wanita shalihah yang ditunjukkan oleh wanita itu lagi, bersabar menghadapi cobaan dengan kesabaran yang baik.
Saudariku, terkadang seorang hamba tidak mampu mencapai kedudukan kedudukan mulia di sisi Allah dengan seluruh amalan perbuatannya. Maka, Allah akan terus memberikan cobaan kepada hamba tersebut dengan suatu hal yang tidak disukainya. Kemudian Allah Memberi kesabaran kepadanya untuk menghadapi cobaan tersebut. Sehingga, dengan kesabarannya dalam menghadapi cobaan, sang hamba mencapai kedudukan mulia yang sebelumnya ia tidak dapat mencapainya dengan amalannya.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“Jika datang suatu kedudukan mulia dari Allah untuk seorang hamba yang mana ia belum mencapainya dengan amalannya, maka Allah akan memberinya musibah pada tubuhnya atau hartanya atau anaknya, lalu Allah akan menyabarkannya hingga mencapai kedudukan mulia yang datang kepadanya.” (HR. Imam Ahmad. Dan hadits ini terdapat dalam silsilah Al-Haadits Ash-shahihah 2599)
Maka, saat cobaan menimpa, berusahalah untuk bersabar. Kita berharap, dengan kesabaran kita dalam menghadapi cobaan Allah akan Mengampuni dosa-dosa kita dan mengangkat kita ke kedudukan mulia di sisi-Nya.
Lalu wanita itu melanjutkan perkataannya, “Tatkala penyakit ayan menimpaku, auratku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa kepada Allah agar auratnya tidak tersingkap. Wanita itu tetap menderita ayan akan tetapi auratnya tidak tersingkap.
Wahai saudariku, seorang wanita yang ingatannya sedang dalam keadaan tidak sadar, kemudian auratnya tak sengaja terbuka, maka tak ada dosa baginya. Karena hal ini di luar kemampuannya. Akan tetapi, lihatlah wanita tersebut. Bahkan di saat sakitnya, ia ingin auratnya tetap tertutup. Di saat ia sedang tak sadar disebabkan penyakitnya, ia ingin kehormatannya sebagai muslimah tetap terjaga. Bagaimana dengan wanita zaman sekarang yang secara sadar justru membuka auratnya dan sama sekali tak merasa malu bila ada lelaki yang melihatnya? Maka, masihkah tersisa kehormatannya sebagai seorang muslimah?
Saudariku, semoga kita bisa belajar dan mengambil manfaat dari wanita penghuni surga tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.
Marji’:
Syarah Riyadhush Shalihin (terj). Jilid 1. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin. Cetakan ke-3. Penerbit Darul Falah. 2007 M.
***
Artikel muslimah.or.id