Jumat, 02 September 2011

Fadilah Makan Menggunakan Jari Tangan

Diantara sunnah Rasulullah SAW adalah makan dengan menggunakan tangan kanannya. Beliau memakan makanannya dengan tiga jari, lalu menjilati ketiga jari tersebut sebelum membersihkannya. Dan bila ada satu suap makanan terjatuh dari tangan Rasul, beliau tidak akan meninggalkan makanan tersebut, melainkan mengambilnya dari tanah, lalu membersihkannya dan memakannya.

Hal tersebut diatas sesuai tertuang dalam sabda Rasulullah "jika satu suap makanan salah seorang diantara kalian jatuh, ambillah, lalu bersihkan kotorannya, jangan biarkan untuk setan. Jangan membersihkan tangannya dengan sapu tangan, namun jilatlah jari-jarinya karena dia tidak mengetahui bagian mana dari makanannya yang mengandung keberkahan. (HR Muslim).
Rasulullah SAW selalu makan dengan ketiga jarinya. Setelah selesai makan, Rasulullah SAW pun akan menjilati ketiga jarinya itu. (HR Muslim)

Ketika pertama kali membayangkan cara makan dengan menggunakan tiga jari itu, mungkin kita akan merasa bahwa hal itu tidak mungkin kita lakukan apalagi jika harus menjilatnya.

Sebagian orang yang bergaya hidup mewah tidak suka menjilat jari-jarinya karena menurutnya, dia merasa jijik dengan perbuatan tersebut. Padahal jika kita telah mencobanya sekali saja, lalu kita benar-benar melakukannya dengan seksama, kita akan terkagum-kagum dan merasa bingung dengan apa yang kita lakukan.

Rasulullah selalu makan menggunakan tiga jari, karena saat itu tidak menemukan hal lain selain jari yang dapat dipastikan bersih sehingga dapat dipergunakan untuk makan. Kemudian Rasulullah menjilat jari-jari karena menurutnya kita tidak tahu di bagian mana dari makanan kita yang mengandung berkah. Dengan demikian makan dengan tiga jari dan menjilatnya merupakan upaya mengikuti sunnah Rasul dan bernilai ibadah.

Tetapi Apakah tidak boleh dengan empat atau lima jari? Sebenarnya tidak harus menggunakan tiga jari saja. Makan menggunakan lebih dari tiga jari diperbolehkan jika makanan itu mengandung kuah atau sejenisnya yang tidak mungkin dimakan dengan tiga jari.

Lalu apa hikmah dari makan menggunakan jari tangan? Imam Al-Ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulumiddinnya, menjelaskan, “Aktifitas makan itu dapat dilihat dari 4 sisi, yaitu makan dengan menggunakan satu jari dapat menghindarkan seseorang dari sifat marah, dengan dua jari akan menghindarkan dari sifat sombong, makan dengan tiga jari akan menghindarkan dari sifat lupa dan makan dengan menggunakan empat atau lima jari dapat menghindarkan dari sifat rakus.

kemudian mengapa Rasulullah menggunakan tiga jari? sesungguhnya makan menggunakan tiga jari akan membuat setiap orang dapat mengukur porsi makanan yang cocok bagi dirinya.

Ia juga dapat menjadikan setiap suap yang masuk ke dalam mulut dapat dikunyah dan bercampur dengan air liur dengan baik sehingga kita tidak akan mengalami gangguan pencernaan.

Allahumma Sholli ’ala Muhammad wa ‘ala alii Muhammad.

Sumber : Inilah Makanan Rasulullah SAW. Prof.Dr.’Abdul Busith Muhammad as- sayyid.

Rabu, 24 Agustus 2011

Keistimewaan 10 Malam Terakhir Ramadhan

RAMADHAN, sesungguhnya merupakan bulan seluruhnya mulia. Mulia di awalnya, di pertengahannya, dan juga di akhirnya. Awalnya rahmat, pertengahannya maghfirah dan akhirnya pembebasan dari api neraka, seperti yang disabdakan Rasulullah dalam riwayat Salman Al-Farisi.
Untuk pembebasan dari neraka inilah, agaknya Rasulullah saw mengencangkan ikat pinggang, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya, seperti yang diutarakan Aisyah ra. Apa rahasia perhatian lebih beliau terhadap sepuluh hari terakhir Ramadhan? Paling tidak ada dua sebab utama:
Pertama, karena sepuluh terkahir ini merupakan penutupan bulan Ramadhan, sedangkan amal perbuatan itu tergantung pada penutupannnya atau akhirnya. Rasulullah saw berdoa: "Ya Allah, jadikan sebaik-baik umurku adalah penghujungnya. Dan jadikan sebaik-baik amalku adalah pamungkasnya. Dan jadikan sebaik-baik hari-hariku adalah hari di mana saya berjumpa dengan-Mu Kelak."
Sepuluh akhir Ramadhan merupakan pamungkas bulan ini, sehingga diharapkan, setiap manusia mengakhiri Ramadhan dengan kebaikan, yaitu dengan mencurahkan daya dan upaya untuk meningkatkan amaliyah ibadah di sepanjang sepuluh hari akhir Ramadhan ini.
Kedua, karena dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan kuat dugaan datangnya lailatul qadar, karena lailatul qadar bisa saja datang pada bulan Ramadhan secara keseluruhan, sesuai dengan firman Allah swt: "Sesungguhnya Kami telah turunkan Alquran pada malam qadar." Dan firmanNya: "Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan di dalamnya Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan dari petunjuk dan pembeda -antara yang hak dan yang batil."
Alquran juga menyebutkan: "Lailatul qadar, adalah malam lebih baik dari seribu bulan." Karenanya Rasul berpesan: "Carilah lailatul, terutama pada malam-malam ganjil pada sepuluh terakhir Ramadhan."
Sumber : Tribunews.com

Tumbilotohe

Liputan6.com, Gorontalo: Malam Lailatul Qadar terasa sangat istimewa. Momen spesial ini tentunya sangat sayang dilewatkan. Dan seperti yang rutin dilakukan, pada malam ke-27 sampai akhir Ramadan warga Gorontalo melaksanakan tradisi tumbilotohe. Berjuta lampu minyak dinyalakan warga menerangi malam-malam Lailatul Qadar.

Hampir di semua sudut kota tampak gemerlap lampu minyak dengan beragam bentuk dan tulisan. Tumbilotohe adalah tradisi khas warga Gorontalo yang digelar setiap tahun. Selepas salat magrib, Gubernur Gorontalo Gusnar Ismail, selaku khalifah dalam tatanan adat Gorontalo, menyalakan lampu perdana sebagai pertanda dimulainya ritual tumbilotohe.

Ribuan pengunjung mulai memadati jalan-jalan untuk menyaksikan keindahan tumbilotohe. Sejumlah ruas jalan pun macet.

Warga menampilkan kreativitas mereka yang tergolong unik. Mereka menerima pesanan pengunjung yang ingin nama diri atau instansinya dirangkai dengan lampu tumbilotohe.(AIS)

Selasa, 16 Agustus 2011

Hidup Sehat dengan Shalat

Shalat di samping kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim dan menjadi barometer atas keimanan seseorang, ia juga memiliki manfaat lain yang sangat besar terkait dengan kesehatan tubuh. Shalat mengandung unsur gerakan dan diam seperti berdiri, ruku’, sujud, dan duduk, merupakan bentuk olahraga yang unik dan istimewa. Bahkan olahraga ini melebihi bentuk olahraga lainnya dengan alasan-alasan sebagai berikut:
  • Shalat adalah bentuk olahraga yang tenang karena tidak mengandung unsur kekerasan ataupun gerakan yang berat
  • Shalat bisa dilakukan oleh siapa saja karena untuk melakukannya tidak membutuhkan kemampuan khusus yang dibutuhkan oleh kebanyakan bentuk olahraga yang lain
  • Shalat bisa dilakukan dalam kondisi kesehatan apapun, baik itu dalam keadaan sehat maupun sakit. Sementara jenis olahraga yang lain tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang melainkan golongan tertentu yang bisa mencapai tingkat kesehatan dan kemampuan tertentu
  • Shalat adalah olahraga yang waktunya terbagi-bagi sepanjang siang dan malam. Pembagian waktunya ini sesuai dengan sistim yang terdapat dalam jam biologis dalam tubuh manusia. Ini membuat shalat mampu untuk menciptakan keselarasan antara jiwa dan raga manusia, serta keselarasan dengan alam sekitar
  • Shalat adalah bentuk olahraga yang gerakannya mencakup seluruh otot, begitu juga dengan seluruh persendian dan ligamen (jaring pengikat tulang dan otot)

Jadi, shalat adalah olahraga bagi tubuh dan akal sekaligus. Ia memberikan kepada seseorang energi yang diperlukan untuk melakukan berbagai macam bentuk aktivitas. Shalat memiliki fungsi pencegahan sekaligus juga sebagai pengobatan. Semua faidah-faidah ini bisa didapatkan oleh manusia apabila ia benar-benar menjaga dan memperhatikan shalatnya. Maka dari itu seseorang tidak perlu harus berkonsultasi ketika ingin berolahraga jika gerakan yang dilakukannya mirip dengan gerakan shalat.
Sekian bayak manfaat shalat jika ditinjau dari kesehatan tubuh, semoga saja akan semakin menumbuhkan semangat kita untuk menjaga dan menunaikan shalat dengan sempurna.
Sumber : Jasa Desain & Websaite

Harapan Dan Tawakal Serta Nilai Ibadah

Tawakal (tawakkal) merupakan proses penyerahan segala hasil yang diiringi penuh harap kepada Allah setelah kita berikhtiar atau bekerja keras. Berkenaan dengan ini, Rasulullah Saw pernah bertanya kepada Malaikat Jibril, “Apakah tawakal itu?” Jibril menjawab, “Tawakal adalah yakin pada realita bahwa makhluk bukanlah pembawa keuntungan, bukan pula pembawa kerugian, tidak memberi, tidak pula menghalangi, dan tidak menggantungkan harapan kepada makhluk apa pun. Ketika seorang hamba telah meyakininya, ia tidak melakukan pekerjaan kecuali untuk Allah, dan tidak mempunyai harapan kecuali dari-Nya”. Inilah hakikat dari tawakal.
Seseorang bertanya kepada Imam Ali bin Musa Ar-Ridha, “Sebatas manakah tawakal itu?” Beliau menjawab, “Hendaknya engkau tidak takut kepada siapa (dan apa) pun dengan bersandar kepada Allah Swt.” Allah swt berfirman: “Dan, hanya kepada Allahlah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar beriman.” (Al-Maa’idah : 23)
Dikatakan, menilik asal katanya, tawakal berasal dari akar kata wakala yang bermakna “memilih wakil”. Dalam memilih “wakil”, kredibilitas seorang wakil, setidaknya harus memiliki kemampuan, pengetahuan yang memadai, dan terpercaya.
Bertawakal kepada Allah berarti menjadikan Allah sebagai “Wakil” dalam menghadapi persoalan hidup yang tengah kita hadapi. Baik persoalan menyangkut kehidupan keluarga, ekonomi dan bisnis, kehidupan bertetangga dan bersosial, maupun persoalan dalam menghadapi musibah, musuh-musuh Islam, dan lainnya.
Allah adalah sebaik-baik “Wakil” yang layak dimintai pertolongan. Dia (Al-Wakil) sebaik-baik pengharapan. Allah memiliki sifat-sifat agung sebagaimana disebutkan dalam nama-nama-Nya yang baik (Asmā’ul Husnā). Di antara nama-nama-Nya yang agung adalah Maha Kuasa (Al-Muqtadir), Maha Perkasa (Al-‘Aziz), Maha Pengasih (Ar-Rahman), dan Maha Penyayang (Ar-Rahim). Nama-nama ini menegaskan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Kredibel untuk diharapkan pertolongan-Nya.
  “Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Dia mempunyai Asmā’ul Husnā (nama-nama yang baik)” (Thaha : 8)
“Allah memiliki Asmā’ul Husnā, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang baik itu…”(Al A’raaf : 180)
Orang beriman, memiliki harapan yang selalu diiringi dengan bertawakal kepada Allah. Tawakal kepada-Nya adalah jiwa yang menguatkan makna harapan. Inilah di antara nash yang mengungkap keutamaan dari harapan dan Optimisme yang diiringi ketawakalan kepada Allah:
“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya".(Ath-Thalaq: 33)
Pengharapan yang dilandasi ketawakalan bukanlah sikap berdiam diri tanpa adanya upaya. Melainkan, suatu wujud kepasrahan dengan menyerahan hasil kepada-Nya setelah kita sungguh-sungguh berikhtiar dan berdoa.
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja'far bin Amr bin Umayah dari ayahnya, ia berkata, "Seseorang berkata kepada Nabi Saw, ‘Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakal?’ Nabi Saw bersabda, 'Ikatlah kemudian bertawakalah!”
Dalam riwayat Al-Qudha'i disebutkan; "Amr bin Umayah berkata, 'Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah aku ikat dahulu (tunggangan)ku lalu aku bertawakal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakal?' Beliau menjawab, 'Ikatlah (kendaran/unta mu) lalu bertawakallah'."
Dari hadits yang lain, Rasul mulia Muhammad saw secara sangat gamblang juga mengilustrasikan tawakal seperti halnya yang dilakukan burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi untuk berusaha mendapatkan karunia dari Allah, sorenya karunia tersebut telah diperolehnya.
"Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rereki sebagaimana rezeki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang." (HR. Tirmidzī).
Harapan yang disertai ketawakalan bukanlah angan-angan. Ia merupakan sikap logis antara ikhtiar dan doa.
Hikmah lain dari ketawakalan yaitu mendorong tumbuhnya kesiapan mental dalam menghadapi ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan (hasil). Ruh dari kesiapan mental ini adalah keyakinan bahwa Allah saja yang menentukan segalanya. Ingatlah; yang baik menurut kita, memang belum tentu baik menurut Allah. Yang baik dalam pandangan Allah, sudah tentu baik bagi kita meskipun kita sendiri tidak/belum menyadarinya.
"… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Al Baqarah : 216)
Ayat ini diakhiri dengan; “Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui”. Kalimat tersebut menegaskan untuk meyakini bahwa Allah mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Berbaik sangka kepada Allah adalah dasar dari menjaga keyakinan ini.
Dalam hadits Qudsi Allah swt berfirman; “Aku berada di sisi prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya manakala dia ingat kepada-Ku” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Terlepas seperti apa hasilnya, manusia tetap diwajibkan memiliki harapan yang dibarengi ikhtiar dan doa, serta bertawakal kepada Allah. Harapan seperti ini bernilai ibadah karena mengandung banyak kebaikan.
Mengingat ikhtiar, doa, dan bertawakal mengiringi suatu harapan (Lihat QS. Ath-Thalaq : 33), maka yang juga tidak kalah pentingnya adalah; mengoptimalkan potensi yang dianugerahkan Allah untuk “menyempurnakan” ikhtiar dan doa yang dipanjatkan. Baik berupa potensi ruhani, ragawi, maupun potensi materi.
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu merubah nasibnya sendiri”. (Ar-ra’d : 11)