Peristiwa besar terjadi dalam guliran sejarah Gereja Katolik. 11 Februari 2013 Bapa Suci Benedictus XVI secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Primat Uskup atau Paus. Pengunduran itu berlaku secara efektif pada tanggal 28 Februari 2013 pukul 20.00 waktu Roma atau 1 Maret 2013 pukul 02.00. Alasan yang disampaikan adalah karena masalah kesehatan. Pengunduran diri ini kembali mengulang sejarah yang pernah terjadi 600 tahun yang lalu.
Media turut menyumbangkan cepatnya informasi pengunduran diri Bapa Suci ke seluruh penjuru dunia. Masing-masing media mengambil sudut pandangnya sendiri dalam memberitakan informasi tersebut kepada para pembaca, pendengar, atau pelihatnya. Tentu, media memiliki agenda maksud tersendiri. dengan sudut pandang dan interesenya, media mengabarkan kepada orang lain.
Sudut pandang dan interese media itulah yang menjadikan peristiwa pengunduran Bapa Suci terasa menggetarkan. Berbagai ulasan dan opini dibuat. Berbagai berita bersliweran di pelbagai media sosial. Salah satu berita yang cukup menghebohkan adalah adanya berita yang mengatakan bahwa Bapa Suci telah menjadi mualaf. Berita ini beredar demikian cepat di berbagai media sosial seperti facebook, twitter, maupun berbagai blog. Berita itu pun disertai dengan beberapa foto Paus Benedictus ketika mengunjungi Masjid Biru di Turki. Dalam catatan yang ada, dikabarkan bahwa Bapa Suci sedang melakukan sholat.
Sebuah foto memang berbicara banyak. Sebuah foto mampu menggantikan ribuan kata. Persoalannya adalah apakah standart jurnalisme sederhana terjawab melalui foto itu? Standart jurnalisme sederhana yang aku maksudkan adalah 5W 1H. Dengan standart jurnalisme sederhana ini kita bisa mengambil sikap atas segala peristiwa yang tersaji di hadapan kita. Dengan demikian kita tidak mudah terjebak dalam sebuah arus yang justru akan mengombang-ambingkan diri kita sendiri. Dengan berpikir jernih, justru kita akan mampu menangkap segala informasi dengan pikiran dewasa.
Dalam foto yang disertakan dalam berbagai tulisan itu tampak Bapa Suci sedang bersedekap seperti orang yang sedang sholat. Pertanyaan who jelas terjawab dalam foto itu: Paus Benedictus XVI berdiri dan didampingi oleh Mufti Besar Istambul Mustafa Cagrici. Obyek yang hendak dibicarakan adalah Bapa Suci Benedictus XVI, pemimpin tertinggi Gereja Katolik.
Adalah benar bahwa Bapa Suci mengunjungi Masjid Biru Turki yang berdiri megah di Lapangan Sultan Ahmet di pusat kota tua Istambul. Kunjungan Bapa Suci ke negara berpenduduk mayoritas Muslim itu terjadi pada 30 November 2006 silam. Ini menunjukkan bahwa foto yang diklaim sebagai foto Bapa Suci sedang melakukan sholat tidak menjawab dengan tepat pertanyaan where dan when. Foto itu diambil tahun 2006 atau tahun-tahun awal kepemimpinan Bapa Suci dan digunakan untuk memperkuat argumen yang terjadi pada tahun 2013. Sebuah pemutarbalikan fakta terjadi dalam informasi yang diberikan.
Masih ada what dan why? Kunjungan Bapa Suci ke Turki tentu punya tujuan. Salah satu tujuan yang hendak dicapai adalah meredam gejolak yang timbul dari pidato-pidato Bapa Suci yang keras pada bulan September. Kunjungan ke Masjid Biru yang merupakan masjid terkenal di Turki itu merupakan isyarat penghormatan terhadap Islam. Dalam kunjungan tersebut, saat berada dalam masjid Bapa Suci bersedekap layaknya seorang yang sedang sholat. Tata gerak sholat, setahu saya, tidak hanya berdiri saja. Sementara, tata gerak Bapa Suci adalah berdiri sambil bersedekap dengan mulut yang komat-kamit memanjatkan doa. Posisi tangan Bapa Suci pun berkebalikan dengan tata gerak seorang yang sedang sholat.
Kepala dingin adalah sebuah syarat yang dibutuhkan untuk menyaring aneka informasi yang diberikan kepada kita. Dalam kasus Paus Benediktus XVI, kita bisa pula melakukan penyaringan data sebagaimana disajikan juga oleh media. Misalnya kita bisa mencari berita atau pun video berkaitan dengan kunjungan beliau ke Masjid Biru Turki. Aku menemukan sebuah link dari youtube yang bisa menjadi referensi dan filter.
Teknologi informasi tentu bisa berefek bias. Di satu sisi, kemajuan informasi dan media semakin memudahkan manusia bertukar informasi dengan cepat dan mudah. Di sisi lain, kemajuan informasi dan media juga bisa menjebak manusia dalam pusara kesalahan informasi. Seseorang bisa menyebarkan informasi, baik fakta atau rekayasa, kepada orang lain dengan cepat dan mudah. Dalam konteks itu, filternya ada pada diri kita sendiri. Apakah dengan mudah kita meyakini begitu saja onformasi yang kita terima atau kita berani menelisik kebenarannya?
Sumber : Kompasiana ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar