Tawakal (tawakkal) merupakan proses penyerahan segala hasil yang diiringi penuh harap kepada Allah setelah kita berikhtiar atau bekerja keras. Berkenaan dengan ini, Rasulullah Saw pernah bertanya kepada Malaikat Jibril, “Apakah tawakal itu?” Jibril menjawab, “Tawakal adalah yakin pada realita bahwa makhluk bukanlah pembawa keuntungan, bukan pula pembawa kerugian, tidak memberi, tidak pula menghalangi, dan tidak menggantungkan harapan kepada makhluk apa pun. Ketika seorang hamba telah meyakininya, ia tidak melakukan pekerjaan kecuali untuk Allah, dan tidak mempunyai harapan kecuali dari-Nya”. Inilah hakikat dari tawakal.
Seseorang bertanya kepada Imam Ali bin Musa Ar-Ridha, “Sebatas manakah tawakal itu?” Beliau menjawab, “Hendaknya engkau tidak takut kepada siapa (dan apa) pun dengan bersandar kepada Allah Swt.” Allah swt berfirman: “Dan, hanya kepada Allahlah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar beriman.” (Al-Maa’idah : 23)
Dikatakan, menilik asal katanya, tawakal berasal dari akar kata wakala yang bermakna “memilih wakil”. Dalam memilih “wakil”, kredibilitas seorang wakil, setidaknya harus memiliki kemampuan, pengetahuan yang memadai, dan terpercaya.
Bertawakal kepada Allah berarti menjadikan Allah sebagai “Wakil” dalam menghadapi persoalan hidup yang tengah kita hadapi. Baik persoalan menyangkut kehidupan keluarga, ekonomi dan bisnis, kehidupan bertetangga dan bersosial, maupun persoalan dalam menghadapi musibah, musuh-musuh Islam, dan lainnya.
Allah adalah sebaik-baik “Wakil” yang layak dimintai pertolongan. Dia (Al-Wakil) sebaik-baik pengharapan. Allah memiliki sifat-sifat agung sebagaimana disebutkan dalam nama-nama-Nya yang baik (Asmā’ul Husnā). Di antara nama-nama-Nya yang agung adalah Maha Kuasa (Al-Muqtadir), Maha Perkasa (Al-‘Aziz), Maha Pengasih (Ar-Rahman), dan Maha Penyayang (Ar-Rahim). Nama-nama ini menegaskan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Kredibel untuk diharapkan pertolongan-Nya.
“Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Dia mempunyai Asmā’ul Husnā (nama-nama yang baik)” (Thaha : 8)
“Allah memiliki Asmā’ul Husnā, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang baik itu…”(Al A’raaf : 180)
Orang beriman, memiliki harapan yang selalu diiringi dengan bertawakal kepada Allah. Tawakal kepada-Nya adalah jiwa yang menguatkan makna harapan. Inilah di antara nash yang mengungkap keutamaan dari harapan dan Optimisme yang diiringi ketawakalan kepada Allah:
“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya".(Ath-Thalaq: 33)
Pengharapan yang dilandasi ketawakalan bukanlah sikap berdiam diri tanpa adanya upaya. Melainkan, suatu wujud kepasrahan dengan menyerahan hasil kepada-Nya setelah kita sungguh-sungguh berikhtiar dan berdoa.
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja'far bin Amr bin Umayah dari ayahnya, ia berkata, "Seseorang berkata kepada Nabi Saw, ‘Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakal?’ Nabi Saw bersabda, 'Ikatlah kemudian bertawakalah!”
Dalam riwayat Al-Qudha'i disebutkan; "Amr bin Umayah berkata, 'Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah aku ikat dahulu (tunggangan)ku lalu aku bertawakal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakal?' Beliau menjawab, 'Ikatlah (kendaran/unta mu) lalu bertawakallah'."
Dari hadits yang lain, Rasul mulia Muhammad saw secara sangat gamblang juga mengilustrasikan tawakal seperti halnya yang dilakukan burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi untuk berusaha mendapatkan karunia dari Allah, sorenya karunia tersebut telah diperolehnya.
"Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rereki sebagaimana rezeki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang." (HR. Tirmidzī).
Harapan yang disertai ketawakalan bukanlah angan-angan. Ia merupakan sikap logis antara ikhtiar dan doa.
Hikmah lain dari ketawakalan yaitu mendorong tumbuhnya kesiapan mental dalam menghadapi ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan (hasil). Ruh dari kesiapan mental ini adalah keyakinan bahwa Allah saja yang menentukan segalanya. Ingatlah; yang baik menurut kita, memang belum tentu baik menurut Allah. Yang baik dalam pandangan Allah, sudah tentu baik bagi kita meskipun kita sendiri tidak/belum menyadarinya.
"… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Al Baqarah : 216)
Ayat ini diakhiri dengan; “Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui”. Kalimat tersebut menegaskan untuk meyakini bahwa Allah mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Berbaik sangka kepada Allah adalah dasar dari menjaga keyakinan ini.
Dalam hadits Qudsi Allah swt berfirman; “Aku berada di sisi prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya manakala dia ingat kepada-Ku” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Terlepas seperti apa hasilnya, manusia tetap diwajibkan memiliki harapan yang dibarengi ikhtiar dan doa, serta bertawakal kepada Allah. Harapan seperti ini bernilai ibadah karena mengandung banyak kebaikan.
Mengingat ikhtiar, doa, dan bertawakal mengiringi suatu harapan (Lihat QS. Ath-Thalaq : 33), maka yang juga tidak kalah pentingnya adalah; mengoptimalkan potensi yang dianugerahkan Allah untuk “menyempurnakan” ikhtiar dan doa yang dipanjatkan. Baik berupa potensi ruhani, ragawi, maupun potensi materi.
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu merubah nasibnya sendiri”. (Ar-ra’d : 11)