Rabu, 03 Agustus 2011

Hukum Do'a Qunut Witir

Segala puji bagi Allah, Rabb yang mengatur malam dan siang. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Pada kesempatan kali ini kami akan menyajikan panduan singkat shalat witir. Semoga yang singkat ini bermanfaat.
Witir secara bahasa berarti ganjil. Hal ini sebagaimana dapat kita lihat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
Sesungguhnya Allah itu Witr dan menyukai yang witr (ganjil).” (HR. Bukhari no. 6410dan Muslim no. 2677)
Sedangkan yang dimaksud witir pada shalat witir adalah shalat yang dikerjakan antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuknya waktu Shubuh), dan shalat ini adalah penutup shalat malam.
Mengenai shalat witir apakah bagian dari shalat lail (shalat malam/tahajud) atau tidak, para ulama berselisih pendapat. Ada ulama yang mengatakan bahwa shalat witir adalah bagian dari shalat lail dan ada ulama yang mengatakan bukan bagian dari shalat lail.
Hukum Shalat Witir
Menurut mayoritas ulama, hukum shalat witir adalah sunnah muakkad (sunnah yang amat dianjurkan).
Namun ada pendapat yang cukup menarik dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bahwa shalat witir itu wajib bagi orang yang punya kebiasaan melaksanakan shalat tahajud.[1] Dalil pegangan beliau barangkali adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً
Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Waktu Pelaksanaan Shalat Witir
Para ulama sepakat bahwa waktu shalat witir adalah antara shalat Isya hingga terbit fajar. Adapun jika dikerjakan setelah masuk waktu shubuh (terbit fajar), maka itu tidak diperbolehkan menurut pendapat yang lebih kuat. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah ia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu ‘Umar)
Ibnu ‘Umar mengatakan,
مَنْ صَلَّى بِاللَّيْلِ فَلْيَجْعَلْ آخِرَ صَلاَتِهِ وِتْراً فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِذَلِكَ فَإِذَا كَانَ الْفَجْرُ فَقَدْ ذَهَبَتْ كُلُّ صَلاَةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَوْتِرُوا قَبْلَ الْفَجْرِ »
Barangsiapa yang melaksanakan shalat malam, maka jadikanlah akhir shalat malamnya adalah witir karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. Dan jika fajar tiba, seluruh shalat malam dan shalat witir berakhir, karenanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Shalat witirlah kalian sebelum fajar”. (HR. Ahmad 2/149. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Lalu manakah waktu shalat witir yang utama dari waktu-waktu tadi?
Jawabannya, waktu yang utama atau dianjurkan untuk shalat witir adalah sepertiga malam terakhir.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ.
“Kadang-kadang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan witir di awal malam, pertengahannya dan akhir malam. Sedangkan kebiasaan akhir beliau adalah beliau mengakhirkan witir hingga tiba waktu sahur.” (HR. Muslim no. 745)
Disunnahkan –berdasarkan kesepakatan para ulama-  shalat witir itu dijadikan akhir dari shalat lail berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً
Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Yang disebutkan di atas adalah keadaan ketika seseorang yakin (kuat) bangun di akhir malam. Namun jika ia khawatir tidak dapat bangun malam, maka hendaklah ia mengerjakan shalat witir sebelum tidur. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّكُمْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ ثُمَّ لْيَرْقُدْ وَمَنْ وَثِقَ بِقِيَامٍ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِهِ فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
Siapa di antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia witir dan baru kemudian tidur. Dan siapa yang yakin akan terbangun di akhir malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena bacaan di akhir malam dihadiri (oleh para Malaikat) dan hal itu adalah lebih utama.” (HR. Muslim no. 755)
Dari Abu Qotadah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لأَبِى بَكْرٍ « مَتَى تُوتِرُ » قَالَ أُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ. وَقَالَ لِعُمَرَ « مَتَى تُوتِرُ ». قَالَ آخِرَ اللَّيْلِ. فَقَالَ لأَبِى بَكْرٍ « أَخَذَ هَذَا بِالْحَزْمِ ». وَقَالَ لِعُمَرَ « أَخَذَ هَذَا بِالْقُوَّةِ ».
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakar, " Kapankah kamu melaksanakan witir?" Abu Bakr menjawab, “Saya melakukan witir di permulaan malam”. Dan beliau bertanya kepada Umar, "Kapankah kamu melaksanakan witir?" Umar menjawab, “Saya melakukan witir pada akhir malam”. Kemudian beliau berkata kepada Abu Bakar, "Orang ini melakukan dengan penuh hati-hati." Dan kepada Umar beliau mengatakan, “Sedangkan orang ini begitu kuat." (HR. Abu Daud no. 1434 dan Ahmad 3/309. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Jumlah Raka’at dan Cara Pelaksanaan
Witir boleh dilakukan satu, tiga, lima, tujuh atau sembilan raka’at. Berikut rinciannya.
Pertama: witir dengan satu raka’at.
Cara seperti ini dibolehkan oleh mayoritas ulama karena witir dibolehkan dengan satu raka’at. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ
Witir adalah sebuah keharusan bagi setiap muslim, barang siapa yang hendak melakukan witir lima raka'at maka hendaknya ia melakukankannya dan barang siapa yang hendak melakukan witir tiga raka'at maka hendaknya ia melakukannya, dan barang siapa yang hendak melakukan witir satu raka'at maka hendaknya ia melakukannya.” (HR. Abu Daud no. 1422. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Kedua: witir dengan tiga raka’at.
Di sini boleh dapat dilakukan dengan dua cara: [1] tiga raka’at, sekali salam, [2] mengerjakan dua raka’at terlebih dahulu kemudian salam, lalu ditambah satu raka’at kemudian salam.
Dalil cara pertama:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِى الْحُجْرَةِ وَأَنَا فِى الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di dalam kamar ketika saya berada di rumah dan beliau shallallahu 'alaihi wasallam memisah antara raka’at yang genap dengan yang witir (ganjil) dengan salam yang beliau shallallahu 'alaihi wa sallam perdengarkan kepada kami.” (HR. Ahmad 6/83. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalil cara kedua:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tiga raka’at sekaligus, beliau tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Al Baihaqi)
Ketiga: witir dengan lima raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakan lima raka’at sekaligus dan tasyahud pada raka’at kelima, lalu salam. Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ فِى آخِرِهَا.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat malam sebanyak tiga belas raka’at. Lalu beliau berwitir dari shalat malam tersebut dengan lima raka’at. Dan beliau tidaklah duduk (tasyahud) ketika witir kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Muslim no. 737)
Keempat: witir dengan tujuh raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakannya tanpa duduk tasyahud kecuali pada raka’at keenam. Setelah tasyahud pada raka’at keenam, tidak langsung salam, namun dilanjutkan dengan berdiri pada raka’at ketujuh. Kemudian tasyahud pada raka’at ketujuh dan salam. Dalilnya akan disampaikan pada witir dengan sembilan raka’at.
Kelima: witir dengan sembilan raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakannya tanpa duduk tasyahud kecuali pada raka’at kedelapan. Setelah tasyahud pada raka’at kedelapan, tidak langsung salam, namun dilanjutkan dengan berdiri pada raka’at kesembilan. Kemudian tasyahud pada raka’at kesembilan dan salam.
Dalil tentang hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. ‘Aisyah mengatakan,
كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُورَهُ فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ مَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّى تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيهَا إِلاَّ فِى الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَىَّ فَلَمَّا أَسَنَّ نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَخَذَ اللَّحْمَ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ وَصَنَعَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ الأَوَّلِ فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَىَّ
Kami dulu sering mempersiapkan siwaknya dan bersucinya, setelah itu Allah membangunkannya sekehendaknya untuk bangun malam. Beliau lalu bersiwak dan berwudhu` dan shalat sembilan rakaat. Beliau tidak duduk dalam kesembilan rakaat itu selain pada rakaat kedelapan, beliau menyebut nama Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau bangkit dan tidak mengucapkan salam. Setelah itu beliau berdiri dan shalat untuk rakaat ke sembilannya. Kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, lalu beliau mengucapkan salam dengan nyaring agar kami mendengarnya. Setelah itu beliau shalat dua rakaat setelah salam sambil duduk, itulah sebelas rakaat wahai anakku. Ketika Nabiyullah berusia lanjut dan beliau telah merasa kegemukan, beliau berwitir dengan tujuh rakaat, dan beliau lakukan dalam dua rakaatnya sebagaimana yang beliau lakukan pada yang pertama, maka itu berarti sembilan wahai anakku.” (HR. Muslim no. 746)
Qunut Witir
Tanya:  Apa hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?
Jawab: Tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat witir. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan. [Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Fatawa Nur ‘alad Darb, 2/1062[2]]
Do’a qunut witir yang dibaca terdapat dalam riwayat berikut.
Al Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhuma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu
اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Allahummahdiini fiiman hadait, wa'aafini fiiman 'afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a'thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho 'alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata'aalait. (Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Bagaimana Jika Luput dari Shalat Witir?
Tanya: Apakah shalat witir itu wajib? Apakah kami nanti berdosa jika suatu hari kami mengerjakan shalat tersebut dan di hari yang lainnya kami tinggalkan?
Jawab: Hukum shalat witir adalah sunnah muakkad (sangat dianjurkan). Oleh karenanya sudah sepatutnya setiap muslim menjaga shalat witir ini. Sedangkan orang yang kadang-kadang saja mengerjakannya (suatu hari mengerjakannya dan di hari lain meninggalkannya), ia tidak berdosa. Akan tetapi, orang  seperti ini perlu dinasehati agar ia selalu menjaga shalat witir. Jika suatu saat ia luput mengerjakannya, maka hendaklah ia menggantinya di siang hari dengan jumlah raka’at yang genap. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika luput dari shalat witir, beliau selalu melakukan seperti itu. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,  “Jika beliau ketiduran atau sedang sakit sehingga tidak dapat melakukannya di malam hari, maka beliau shalat di waktu siangnya sebanyak dua belas rakaat” (HR. Muslim).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam biasanya melaksanakan shalat malam sebanyak sebelas raka’at. Beliau salam setiap kali dua raka’at, lalu beliau berwitir dengan satu raka’at. Jika luput dari shalat malam karena tidur atau sakit, maka beliau mengganti shalat malam tersebut di siang harinya dengan mengerjakan dua belas raka’at. Inilah maksud dari ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tadi. Oleh karena itu, jika seorang mukmin punya kebiasaan shalat di malam hari sebanyak lima raka’at, lalu ia ketiduran atau luput dari mengerjakannya, hendaklah ia ganti shalat tersebut di siang harinya dengan mengerjakan shalat enam raka’at, ia kerjakan dengan salam setiap dua raka’at. Demikian pula jika seseorang biasa shalat malam tiga raka’at, maka ia ganti dengan mengerjakan di siang harinya empat raka’at, ia kerjakan dengan dua kali salam. Begitu pula jika ia punya kebiasaan shalat malam tujuh raka’at, maka ia ganti di siang harinya dengan delapan raka’at, ia kerjakan dengan salam setiap dua raka’at.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. [Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, ditandangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku Ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku Wakil Ketua, Abdullah bin Qu’ud dan Abdullah bin Ghodyan selaku Anggota, pertanyaan kedua no. 6755, 7/172-173]
Sudah Witir Sebelum Tidur dan Ingin Shalat Malam Di Akhir Malam
Tanya: Apakah sah shalat sunnah yang dikerjakan di seperti malam terakhir, namun sebelum tidur telah shalat witir?
Jawab: Shalat malam itu lebih utama dikerjakan di sepertiga malam terakhir karena sepertiga malam terakhir adalah waktu nuzul ilahi (Allah turun ke langit dunia). Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rabb kita turun ke langit dunia hingga tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Allah berfirman (yang artinya): 'Adakah seorang yang meminta? Pasti Aku akan memberinya. Adakah seorang yang berdoa? Pasti Aku akan mengabulkannya. Dan adakah seorang yang memohon ampunan? Pasti Aku akan mengampuninya’. Hal ini berlangsung hingga tiba waktu fajar.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah). Hadits ini menunjukkan bahwa shalat di sepertiga malam terakir adalah sebaik-baiknya amalan. Oleh karena itu, lebih utama jika shalat malam itu dikerjakan di sepertiga malam terakhir. Begitu pula untuk shalat witir lebih utama untuk dijadikan sebagai akhir amalan di malam hari. Inilah yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Jadikanlah akhir shalatmu di malam hari adalah shalat witir ” (HR. Bukhari, dari Abdullah bin ‘Umar). Jadi, jika seseorang telah mengerjakan witir di awal malam, lalu ia bangun di akhir malam, maka tidak mengapa jika ia mengerjakan shalat sunnah di sepertiga malam terakhir. Ketika itu ia cukup dengan amalan shalat witir yang dikerjakan di awal malam karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengerjakan dua witir dalam satu malam. [Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah, Al Muntaqo min Fatawa Al Fauzan no. 41, 65/19]
Semoga panduan shalat witir ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Diselesaikan berkat karunia Allah Ta’ala pada hari Jum’at, 23 Jumadil Awwal 1431 H (07/05/2010) di Panggang-GK
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal - Sumber : SM

Arti Berdoa Dengan Mengangkat Tangan

Mengangkat tangan dalam berdoa merupakan etika yang paling agung dan memiliki keutamaan mulia serta penyebab terkabulnya doa.

Dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu dari hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (meminta-Nya) dikembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa". [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Doa 2/78 No.1488, Sunan At-Tirmidzi, bab Doa 13/68. Musnad Ahmad 5/438. Dishahihkan Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa lafazh hayyun berasal dari lafazh haya' yang bermakna malu. Allah memiliki sifat malu yang sesuai dengan keagungan dzat-Nya kita beriman tanpa menggambarkan sifat tersebut. Lafazh kariim yang berarti Maha Memberi tanpa diminta dan dihitung atau Maha Pemurah lagi Maha Memberi yang tidak pernah habis pemberian-Nya, Dia dzat yang Maha Pemurah secara mutlaq. Lafazh an yarudahuma shifron artinya kosong tanpa ada sesuatu. [Mur'atul Mafatih 7/363]
Dari Anas Radhiyalahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berdoa dengan mengangkat tangan kecuali dalam shalat Istisqa. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa' 2/12. Shahih Muslim, kitab Istisqa' 3/24].

Imam Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa hadits tersebut tidak menafikan berdoa dengan mengangkat tangan akan tetapi menafikan sifat dan cara tertentu dalam mengangkat tangan pada saat berdoa, artinya mengangkat tangan dalam doa istisqa' memiliki cara tersendiri mungkin dengan cara mengangkat tangan tinggi-tinggi tidak seperti pada saat doa-doa yang lain yang hanya mengangkat kedua tangan sejajar dengan wajah saja.

Berdoa dengan mengangkat tangan hingga sejajar dengan kedua pundak tidaklah bertentangan dengan hadits di atas sebab beliau pernah berdoa mengangkat tangan hingga kelihatan putih ketiaknya, maka boleh mengangkat tangan dalam berdoa hingga kelihatan ketiaknya, akan tetapi di dalam shalat istisqa dianjurkan lebih dari itu atau mungkin pada shalat istisqa kedua telapak tangan diarahkan ke bumi dan dalam doa selainnya kedua telapak tangan diarahkan ke atas langit.

Imam Al-Mundziri mengatakan bahwa jika seandainya tidak mungkin menyatukan hadits-hadits diatas, maka pendapat yang menyatakan berdoa dengan mengangkat tangan lebih mendekati kebenaran sebab banyak sekali hadits-hadits yang menetapkan mengangkat tangan dalam berdoa, seperti yang telah disebut Imam Al-Mundziri dan Imam An-Nawawi dalam Syarah Muhadzdzab dan Imam Al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad. Adapun hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari 'Amarah bin Ruwaibah bahwa dia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat tangan dalam berdoa, lalu mengingkarinya kemudian berkata : "Saya melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak lebih dari ini sambil mengisyaratkan jari telunjuknya. Imam At-Thabari meriwayatkan dari sebagian salaf bahwa disunnahkan berdoa dengan mengisyaratkan jari telunjuk. Akan tetapi hadits di atas terjadi pada saat khutbah Jum'at dan bukan berarti hadits tersebut menafikan hadits-hadits yang menganjurkan mengangkat tangan dalam berdoa. [Fathul Bari 11/146-147].

Akan tetapi dalam masalah ini terjadi kekeliruan, sebagian orang ada yang berlebihan dan tidak pernah sama sekali mau meninggalkan mengangkat tangan, dan sebagian yang lainnya tidak pernah sama sekali mengangkat tangan kecuali waktu-waktu khusus saja, serta sebagian yang lain di antara keduanya, artinya mengangkat tangan pada waktu berdoa yang memang dianjurkan dan tidak mengangkat tangan pada waktu berdoa yang tidak ada anjurannya. Imam Al-'Izz bin Abdussalam berkata bahwa tidak dianjurkan mengangkat tangan pada waktu membaca doa iftitah atau doa diantara dua sujud. Tidak ada satu haditspun yang shahih yang membenarkan pendapat tersebut.

Begitupula tidak disunahkan mengangkat tangan tatkala membaca doa tasyahud dan tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan kecuali waktu-waktu yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengangkat tangan. [Fatawa Al-Izz bin Abdussalam hal. 47].

Syaikh Bin Baz berkata bahwa dianjurkan berdoa mengangkat tangan karena demikian itu menjadi penyebab terkabulnya doa, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya Tuhan kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu kepada hamba-Nya yang mengankat kedua tangannya (meminta-Nya), Dia kembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa". [Hadits Riwayat Abu Dawud].

Dan sanda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya Allah Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti memerintahkan kepada para rasul".

Allah berfirman.

"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah". [Al-Baqarah : 172].

Dan firman Allah : "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [Al-Mukminuun : 51]

Kemudian beliau menyebutkan seseorang yang lusuh mengangkat kedua tangannya ke arah langit berdoa : 'Ya Rabi, ya Rabbi tetapi makanannya haram, minumannya haram dan pakaiannya haram serta darah dagingnya tumbuh dari yang haram, bagaimana doanya bisa dikabulkan .?" [Shahih Muslim, kitab Zakat 3/85-86]

Tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa seperti berdoa pada waktu sehabis salam dari shalat, membaca doa di antara dua sujud dan membaca doa sebelum salam dari shalat serta pada waktu berdoa dalam khutbah Jum'at dan Idul fitri, tidak pernah ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan pada waktu waktu tersebut.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah panutan kita dalam segala hal, apa yang ditinggalkan dan apa yang dilaksanakan semuanya suatu yang terbaik buat umatnya, akan tetapi jika dalam khutbah Jum'at khatib membaca doa istisqa', maka dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallah 'alaihi wa sallam. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa', bab Jamaah Mengangkat Tangan Bersama Imam 2/21].

Dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa setelah shalat sunnah tetapi lebih baik jangan rutin melakukannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak rutin melakukan perbuatan tersebut dan seandainya demikian, maka pasti kita menemukan riwayat dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terlebih para sahabat selalu menyampaikan segala tindakan dan ucapan beliau baik dalam keadaan mukim atau safar.

Adapun hadits yang berbunyi :

"Artinya : Shalat adalah ibadah yang membutuhkan khusyu' dan berserah diri, maka angkatlah kedua tanganmu dan ucapkanlah : Ya Rabbi, ya Rabbi". [Hadits Dhaif, Fatawa Muhimmmah hal. 47-49].

Dan tidak dianjurkan mengangkat tangan dalam membaca doa thawaf sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkali-kali melakukan thawaf tidak ada satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa beliau berdoa mengangkat tangan pada saat thawaf.

Sesuatu yang terbaik adalah mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sesuatu yang terburuk adalah mengikuti perbuatan bid'ah.

Cara Mengangkat Tangan Dalam Berdoa.

Ibnu Abbas berpendapat bahwa cara mengangkat tangan dalam berdoa adalah kedua tangan diangkat hingga sejajar dengan kedua pundak, dan beristighfar berisyarat dengan satu jari, adapun ibtihal (istighasah) dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. [Sunan Abu Daud, bab Witir, bab Doa 2/79 No. 14950. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud].

Imam Al-Qasim bin Muhammad berkata bahwa saya melihat Ibnu Umar berdoa di Al-Qashi dengan mengangkat tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya dan kedua telapak tangannya dihadapkan ke arah wajahnya. [Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/147. Dinisbatkan kepada AL-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad tetapi tidak ada].

Ketahuilah Bahwa Doa Istisqa' Memiliki Dua Cara

Pertama.
Mengangkat kedua tangan dan mengarahkan kedua telapak tangan ke wajah, berdasarkan dari Umair Maula Abi Al-Lahm bahwa dia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa istisqa di Ahjari Zait dekat dengan Zaura' sambil berdiri mengangkat kedua telapak tangannya tidak melebihi di atas kepalanya dan mengarahkan kedua telapak tangan ke arah wajahnya. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Raf'ul Yadain fil Istisqa' 1/303 No. 1168. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 1/226 No. 1035].

Kedua
Mengangkat tagan tinggi-tinggi dan mengarahkan luar telapak tangan ke arah langit dan dalam telapak tangan ke arah bumi. Dari Anas bahwa beliau melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa saat istisqa dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi dan mengarahkan telapak tangan sebelah dalam ke arah bumi hingga terlihat putih ketiaknya. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Raf'ul Yadain fil Istisqa' 1/303 No. 1168. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 1/226 No. 1035].

[Disalin dari buku Jahalatun nas fid du'a, edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdoa oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih, hal 61-69 terbitan Darul Haq, penerjemah Zaenal Abidin Lc] (Oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih) almanhaj.or.id Sumber : Suara Media

Tata Cara Serta Do'a Shalat Tahajud

Shalat Tahajud adalah shalat sunat yang dikerjakan pada waktu malam, dimulai selepas isya sampai menjelang subuh.
Jumlah rakaat pada shalat ini tidak terbatas, mulai dari 2 rakaat, 4, dan seterusnya.
A. Pembagian Keutamaan Waktu Shalat Tahajud
  1. Sepertiga malam, kira-kira mulai dari jam 19.00 sampai jam 22.00
  2. Sepertiga kedua, kira-kira mulai dari jam 22.00 sampai dengan jam 01.00
  3. Sepertiga ketiga, kira-kira dari jam 01.00 sampai dengan masuknya waktu subuh.
B. Niat shalat tahajud:

Ushallii sunnatat-tahajjudi rak’ataini lillaahi ta’aalaa.

Artinya: “Aku niat shalat sunat tahajud dua rakaat karena Allah”

C. Doa yang dibaca setelah shalat tahajud:

Rabbanaa aatina fid-dun-yaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw wa qinaa adzaaban-naar.

Artinya: “Ya Allah Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa api neraka.”

Dalam hadits Bukhari dinyatakan, bahwa rasulullah jika bangun dari tidurnya di tengah malam lalu bertahajud membaca doa:
اَللّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ لَكَ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، وَلَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ الْحَقُّ، وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ الْحَقُّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالنَّبِيُّوْنَ حَقٌّ، وَمُحَمَّدٌ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ، اَللّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ. فَاغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَنْتَ إِلٰهِيْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ


Artinya: “Ya, Allah! Bagi-Mu segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi serta seisinya. Bagi-Mu segala puji, Engkau yang mengurusi langit dan bumi serta seisinya. Bagi-Mu segala puji, Engkau Tuhan yang menguasai langit dan bumi serta seisinya. Bagi-Mu segala puji dan bagi-Mu kerajaan langit dan bumi serta seisi-nya. Bagi-Mu segala puji, Engkau benar, janji-Mu benar, firman-Mu benar, bertemu dengan-Mu benar, Surga adalah benar (ada), Neraka adalah benar (ada), (terutusnya) para nabi adalah benar, (terutusnya) Muhammad adalah benar (dari- Mu), peristiwa hari kiamat adalah benar. Ya Allah, kepada-Mu aku pasrah, kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku kembali (bertaubat), dengan pertolongan-Mu aku berdebat (kepada orang-orang kafir), kepada-Mu (dan dengan ajaran-Mu) aku menjatuhkan hukum. Oleh karena itu, ampunilah dosaku yang telah lalu dan yang akan datang. Engkaulah yang mendahulukan dan mengakhirkan, tiada Tuhan yang hak disembah
kecuali Engkau, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang hak disembah kecuali Engkau”.
D. Setelah itu, perbanyaklah membaca istigfar sebagai berikut:

Astagfirullaahal azhim wa atuubu ilaiih

Artinya: “Kami memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung dan kami pun bertaubat kepada-Nya”

E. Keutamaan Shalat Tahajud

Sahabat Abdullah bin Salam mengatakan, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:

“Hai sekalian manusia, sebarluaskanlah salam dan berikanlah makanan serta sholat malamlah diwaktu manusia sedang tidur, supaya kamu masuk Surga dengan selamat.” (HR Tirmidzi)

Bersabda Nabi Muhammad saw:

“Seutama-utama shalat sesudah shalat fardhu ialah shalat sunnat di waktu malam.” (HR Muslim)

Selain itu, Allah sendiri juga berfirman:

Pada malam hari, hendaklah engkau shalat Tahajud sebagai tambahan bagi engkau. Mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ketempat yang terpuji. (QS Al-Isra: 79)

Dari Jabir r.a., ia barkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. Bersabda: Sesungguhnya pada malam hari itu benar-benar ada saat yang seorang muslim dapat menepatinya untuk memohon kepada Allah suatu kebaikan dunia dan akhirat, pasti Allah akan memberikannya (mengabulkannya); dan itu setiap malam.” (HR Muslim dan Ahmad)

“Lazimkan dirimu untuk shalat malam karena hal itu tradisi orang-orang saleh sebelummu, mendekatkan diri kepada Allah, menghapus dosa, menolak penyakit, dan pencegah dari dosa.” (HR Ahmad)

F. Kiat Mudah Shalat Malam/Qiyamullail

Agar kita diberi kemudahan bangun malam untuk melakukan shalat malam, cobalah tips-tips berikut ini:
  1. Aturlah aktivitas di siang hari agar malamnya Anda tidak kelelahan. Sehingga tidak membuat Anda tidur terlalu lelap.
  2. Makan malam jangan kekenyangan, berdoa untuk bisa bangun malam, dan jangan lupa pasang alarm sebelum tidur.
  3. Hindari maksiat, sebab menurut pengalaman Sufyan Ats-Tsauri, “Aku sulit sekali melakukan qiyamullail selama 5 bulan disebabkan satu dosa yang aku lakukan.”
  4. Ketahuilah fadhilah (keutamaan) dan keistimewaan qiyamulail. Dengan begitu kita termotivasi untuk melaksanakannya.
  5. Tumbuhkan perasaan sangat ingin bermunajat dengan Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
  6. Baik juga jika janjian dengan beberapa teman untuk saling membangunkan dengan miscall melalui telepon atau handphone.
  7. Buat kesepakatan dengan istri dan anak-anak bahwa keluarga punya program tahajud bersama sekali atau dua malam dalam sepekan.
  8. Berdoalah kepada Allah swt. untuk dipermudah dalam beribadah kepadaNya. (fn/aa/ab) www.suaramedia.com

keutamaan sholat witir

Sholat witir itu memiliki keutamaan yang sangat agung. Buktinya Rosulullah sholallohu alaihi wa salam tidak pernah meninggalkannya, baik dalam keadaan mukim ataupun safar.

Abu Huroiroh Rodhiyallohu Anhu berkata, “ Kekasihku, Nabi sholallohu alaihi wa salam memberikan wasiat kepadaku dengan tiga hal, agar aku tidak meninggalkannya sampai aku mati. Ketiganya adalah puasa tiga hari setiap bulan, Sholat Dluha, dan tidur malam dalam keadaan sudah mengerjakan sholat witir.”
HR. Bukhori (1178) dan Muslim (72)

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib Rodhiyallohu Anhu bahwa beliau berkata, “Sholat witir memang bukan kewajiban sebagaimana sholat fardlu, akan tetapi ia merupakan sholat yang disunnahkan Rosululloh sholallohu alaihi wa salam. Beliau bersabda, “ sesunggguhnya Allah itu witir (Maha Ganjil) dan menyukai yang ganjil (witir). Oleh karena itu, kerjakanlah sholat witir, ahai generasi qur’an”
HR. Abu Dawud (1416), Tirmidzi (453), Nasai (II/228,229) dan Ibnu Majah (1170).

Dari Jabir rodhiyallohu anhu,bahwa Rosululloh sholallohu alaihi wa salam bersabda :
” Barangsiapa khawatir tidak bias bangun di akhir malam (untuk mengerjakan sholat), maka hendaklah ia mengerjakan sholat witir di awal malam (sebelum tidur). Barang siapa yakin akan bisa bangun di akhir malam , hendaklah ia mengerjakan sholat witir di akhir malam. Sebab sholat di akhir malam itu disaksikan (oleh para malaikat), dan yang demikian itu jelas lebih utama.”
HR. Muslim (755) dan Tirmidzi (456).

Diriwayatkan dari Aisyah rodhiyallohu anha bahwa ia berkata , “Dari sepanjang malam, nabi sholallohu alaihi wasalam pernah mengerjakan sholat witir di awal malam (setelah sholat isya’), di tengah malam dan di akhir malam. Waktu sholat witir beliau berakhir hingga waktu sahur (menjelang sholat subuh).
HR. Bukhori (II/406), Muslim (745), Nasa’I (III/230), Tirmidzi (357) dan Abu Dawud (1435).

Diriwayatkan dari Abdulloh bin Umar rodhiyallohu anhu, bahwa Nabi sholallohu alaihi wasalam bersabda, “ Dahuluilah sholat subuh dengan sholat witir.”
HR. Muslim (750), Tirmidzi (467) dan Abu Dawud (1436).
Diriwayatkan dari Abdulloh bin Umar rodhiyallohu anhu, bahwa Nabi sholallohu alaihi wasalam bersabda, “Jadikanlah sholat witir sebagai akhir dari sholat malam kalian di malam hari!.”
HR. Bukhori (II/406), Muslim (751), Nasa’I (III/230 dan 231), dan Abu Dawud (1438).

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu anhu, bahwa Nabi sholallohu alaihi wasalam bersabda, “Kerjakan sholat witir sebelum kalian memasuki waktu pagi (sholat subuh)!”
HR. Muslim (754), Tirmidzi (468) dan Nasa’I (III/ 231)

Diriwayatkan dari Aisyah rodhiyallohu anha, bahwa Nabi sholallohu alaihi wasalam mengerjakan sholat di malam hari, sememtara itu Aisyah tidur mrlintang di hadapan beliau. Ketika tinggal mengerjakan sholat witir, maka beliau membangunkannya, lalu iapun mengerjakan sholat witir .
HR. Muslim (744).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Ketika Nabi sholallohu alaihi wasalam tinggal mengerjakan sholat witir, maka beliau berkata kepada Aisyah, Bangunlah dan kerjakanlah sholat witir, wahai Aisyah.”

Diriayatkan dari Abu Bashroh Al-Ghiffari rodhiyallohu anhu, bahwa Nabi sholallohu alaihi wasalam bersabda, “Sesunggguhnya Allah memberikan tambahan sholat kepada kalian yaitu sholat witir. Oleh karena itu kerjakanlah sholat witir itu dalam rentang waktu antara sholat isya’ dan sholat fajar.”
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya (6880)

Diriayatkan dari Abdulloh bin Amru bin Ash rodhiyallohu anhu, bahwa Nabi sholallohu alaihi wasalam bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan tambahkan satu sholat kepada kalian. Oleh karena itu , jagalah selalu sholat tersebut. Yaitu sholat witir.”
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya (6654)

Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshori rodhiyallohu anhu, bahwa Nabi sholallohu alaihi wasalam bersabda, “Sholat witir adalah haq (disyariatkan, sangat dianjurkan). Siapa saja boleh mengerjakan dalam lima rokaat, atau tiga rokaat, atau bahkan satu rokaat.”
HR. Abu Dawud (1421), Nasa’I (1711), Ibnu Majah (1190) dan Ibnu Hibban dalam shohihnya (2407)

Abdulloh bin Umar rodhiyallohu anhu berkata, “Barang siapa Mengerjakan sholat malam maka hendaklah ia menjadikan akhir sholatnya itu adalah sholat witir. Sebab yang demikian itu Rosululloh sholallohu alaihi wasalam memerintahkan demikian.”

Keutamaan Sholat Tarawih Serta Jumlah Rakaat Pilihan Nabi

Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya istirahat karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat  setelah melaksanakan shalat empat raka’at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan.[1]
Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat tahajjud menurut mayoritas pakar fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di malam mana saja.[2]
Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam.[3]
Imam Asy Syafi’i, mayoritas ulama Syafi’iyah, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa lebih afdhol shalat tarawih dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al Khottob dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun terus menerus melakukan shalat tarawih secara berjama’ah karena merupakan syi’ar Islam yang begitu nampak sehingga serupa dengan shalat ‘ied.[4]
Keutamaan Shalat Tarawih
Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi.[5] Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya.[6]
Yang dimaksud “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan tekstual hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa kecil.[7]
Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[8] Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.
Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat.
Ulama-ulama Hanabilah (madzhab Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana) kemudian shalat tarawih.[9]
Shalat Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.”[10]
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ ، فَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ ، فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا ، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ، فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَىَّ مَكَانُكُمْ ، لَكِنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا »
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat di belakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu.”[11]
As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.” [12]
Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.”[13]
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.”[14]
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan
Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.
Juga terdapat riwayat dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari[15]. Di antara dalilnya adalah ‘Aisyah mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ لِيُصَلِّىَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat malam, beliau buka terlebih dahulu dengan melaksanakan shalat dua rak’at yang ringan.”[16] Dari sini menunjukkan bahwa disunnahkan sebelum shalat malam, dibuka dengan 2 raka’at ringan terlebih dahulu.
-Bersambung insya Allah-
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
(muslim.or.id)
Sumber :Suara Merdeka